Rabu, 07 Mei 2014

Raisa

Pusing yang dirasakan Raisa terasa semakin hebat. Badannya pun begitu lemas. Sudah hampir dua pekan sikap ibunya tak berubah padanya. Hari-hari Raisa terasa seperti di penjara... terkurung dalam kondisi yang terus-menerus menekan batinnya.

Dalam siang yang hening... Raisa menegakkan sholat zuhur di kamarnya. Setelah selesai ia pun mengambil mushaf Al-Qur'an dan melanjutkan tilawah seperti yang biasa ia lakukan.

BRRAAKK...

Tiba-tiba ibu masuk ke dalam kamar Raisa. Dia begitu kaget namun hanya terdiam di atas sajadah. Hanya bisa menunggu... apalagi yang akan ibunya lakukan kali ini.

"SUDAH NGAJINYA !" ibu mulai membentak seperti sebelumnya.

Raisa masih diam.. namun beralih duduk ke atas tempat tidur sambil menatap sang ibu.

"PERCUMA KAMU NGAJI KALAU NGELAWAN TERUS SAMA IBU.. KAMU TAHU?! RIDHO ORANGTUA ITU RIDHO ALLAH. KALAU IBU ENGGA RIDHO, BERARTI ALLAH JUGA ENGGA AKAN RIDHO SAMA KAMU" ibu semakin menggebu-gebu bahkan kali ini nafasnya terlihat terengah-engah.

Raisa mencoba tersenyum tipis menghadapi amarah ibunya. Namun ternyata senyuman itu pun ditanggapi secara berbeda..

"DASAR ANAK KURANG AJAR.. DIKASIH TAHU MALAH CENGENGESAN. NGERASA HEBAT YA, NGERASA PINTER ?!"

Ibu mendekati Raisa dan mecoba mendekap mulutnya sampai terhempas di tempat tidur. Raisa mulai merasa ketakutan... dan mendorong ibunya agar menjauh darinya. Namun ibunya seperti tak mau melepaskannya.

"SUDAAH...." Raisa akhirnya berteriak. Ibu tersentak sesaat.

"Ibu keluar aja... Raisa pusing... mau istirahat."

"KAMU YANG KELUAR! INI RUMAHKU!" kata-kata Ibu penuh dengan emosi.

Raisa berusaha mendorong ibunya agar keluar dari kamar, namun ibu justru mencoba menyeretnya ke kamar mandi. Raisa berontak sambil berteriak-teriak dan akhirnya air mata yang sekian lama ia tahan pun mengalir tak terbendung lagi.

"ENGGA,, RAISA ENGGA MAU" Raisa berteriak berusaha melepaskan diri dari cengkraman ibu kandungnya sendiri.

Setelah beberapa saat barulah Raisa bisa melepaskan dirinya dan berlari ke kamar. Raisa langsung mengunci pintu dan bergulat dengan berbagai macam perasaan yang menyelimuti hatinya. Takut, sedih, marah dan kecewa menjadi satu. 

Pada saat itu munculah pikiran Raisa untuk kabur dari rumah. Dia merasa sudah tidak tahan dan ingin lari dari masalah. Segera dia meraih ponsel dan mulai menanyakan ke beberapa sahabatnya yang berdomisili di luar kota, apakah mereka memiliki informasi pekerjaan yang kira-kira cocok untuknya disana.

Raisa bahkan sudah mulai mencari waktu penerbangan yang sesuai agar dia bisa membooking tiket pesawat secepatnya. Dia merasa yakin bahwa keputusan itu yang terbaik bagi ibu juga dirinya. Namun kemudian...

"Tok..tok..tok...." suara pintu diketuk perlahan dari luar kamar Raisa.

Raisa tak menghiraukan, karena dia tahu bahwa ibunya lah yang ada dibalik pintu itu.

"Tok..tok..tok...." pintu masih terus diketuk

"Nak... buka pintunya... Semua pasti ada hikmahnya." Ibu mencoba membujuk Raisa.

Raisa akhirnya bangkit dan membukakan pintu walau hanya sedikit. Dia masih tak ingin ibunya masuk ke kamarnya lagi.

"Ada apa bu?" Tanya Raisa

"Ini... ibu bawakan air" Ibu menyodorkan segelas air putih dari balik celah pintu yang dibukakan putrinya.

Raisa hanya mengambil dan menaruhnya diatas lemari. Dia tak ingin minum apapun saat itu.

Ibunya pun kembali berceloteh kesana-kemari, mengucapkan kalimat demi kalimat yang tidak saling berkaitan. Seperti ingin menjelaskan sesuatu yang tak pernah bisa dijelaskan.

"Cukup bu..." Raisa merasa semakin lelah dengan keadaan yang dihadapinya.

Ibunya pun diam dan berlalu. Raisa kembali mengunci kamarnya.

Hari semakin sore, Raisa memutuskan keluar kamar dan membersihkan dirinya untuk persiapan sholat ashar.
Ketika kembali ke kamar, Raisa sudah menemukan satu cup es krim coklat di atas lemarinya, ditaruh tepat disamping segelas air putih yang sebelumnya juga dibawakan oleh ibu.

Raisa tertegun. Dia tahu bahwa ibu sedang mencoba berdamai dengannya. Es krim itu seperti simbol kata "Maaf" yang tulus. Mungkin ibu sudah menyerah berkata-kata... karena kata-kata justru membuat keadaan mereka semakin rumit.

Raisa pun mulai ragu dengan keputusannya meninggalkan rumah. Bagaimanapun dia tahu bahwa ibu sangat menyayanginya. Terlebih kondisi *bipolar yang dialami ibu, membuat ibu sangat membutuhkan Raisa. Namun Raisa sungguh khawatir akan terus terluka bila terus bertahan disisi ibunya.

(dhini iffansyah)


*Bipolar disorder adalah jenis penyakit psikologi, ditandai dengan perubahan mood (alam perasaan) yang sangat ekstrim, yaitu berupa depresi dan mania. Pengambilan istilah bipolar disorder mengacu pada suasana hati penderitanya yang dapat berganti secara tiba-tiba antara dua kutub (bipolar) yang berlawanan yaitu kebahagiaan (mania) dan kesedihan (depresi) yang ekstrim. http://id.wikipedia.org/wiki/Gangguan_bipolar