Selasa, 30 Juni 2015

Ta'aruf

"Gimana nak? Kamu tegang?" Ibu bertanya penuh selidik kepada putri bungsunya.

"Enggak, biasa aja." Ujar Ira jujur.

Spontan kak Ray dan istrinya yang duduk di kursi mobil bagian depan tertawa mendengar jawaban adik mereka yang memang tampak begitu santai.

"Kok malah ibu yang tegang ya..?!" Ibu keheranan melihat sikap Ira yang hanya tersenyum manis seperti biasa.

Sekitar dua minggu yang lalu, Ira mendapatkan e-mail dari seorang teman. Isinya adalah biodata ikhwan yang berniat ta'aruf dengannya. Teman Ira tampak bersemangat untuk menjodohkan mereka, karena menurutnya diantara Ira dan si ikhwan ini ada kesamaan.

Secara latar belakang keluarga, pendidikan dan pekerjaan sama sekali tak ada masalah. Bahkan boleh dikatakan ideal. Perihal agama pun insyaallah baik, karena ikhwan ini rajin ikut pengajian sekaligus anggota muda di sebuah Masjid ternama di kotanya.

Setelah berkutat dengan hati dan pikirannya sendiri, akhirnya Ira bisa mengutarakan perihal tersebut pada keluarganya. Dan hari ini adalah hari yang mereka sepakati untuk bertemu dengan si ikhwan.

Pertemuan di hari Jum'at bulan Ramadhan. Tak ada hal khusus yang dipersiapkan selain booking tempat makan untuk buka puasa bersama.

Selama perjalanan di dalam mobil, Ira hanya memandang keluar jendela. Mempertimbangkan apa saja yang penting untuk nanti ditanyakan. Terlintas percakapannya dengan kak Ray sebelum tadi mereka berangkat.

"Nanti adik perlu waktu kan untuk memutuskan?" Tanya kak Ray di depan rumah mereka.

"Iya." Jawab Ira singkat.

"Adik mau minta waktu berapa lama?"

"Kalau orangnya enggak keberatan, sekitar satu minggu."

"Oke. Nanti kakak sampaikan." Ujar kak Ray tersenyum meyakinkan.

Setelah kepergian bapak 6 tahun lalu, secara otomatis kak Ray menggantikan peran almarhum sebagai kepala keluarga dan wali bagi adik perempuannya. 

Sebenarnya kak Ray juga merasa sedikit gugup, sebab ini pertama kalinya sang adik ingin mengenalkan seorang laki-laki padanya untuk ta'aruf. Kak Ray bahkan sempat browsing film "Ketika Cinta Bertasbih" di youtube sebagai rujukan apa saja yang harus dilakukan dan dibicarakan.

Waktu terasa berlalu begitu cepat. Adik kecilnya akan berusia 25 tahun bulan depan dan jika proses ta'aruf lancar maka insyaallah ia pun akan segera menikah tahun ini juga.

Sesekali kak Ray melirik Ira dari kaca spion mobil. Hari ini adiknya mengenakan gamis warna kuning kunyit favoritnya serta kerudung warna hitam. Sangat sederhana namun tetap cantik. Kak Ray berharap siapapun laki-laki yang kelak menjadi suami Ira, dapat selalu menjaga dan menyayanginya.

Setibanya di rumah makan khas Sunda, Ira sekeluarga pun langsung menuju meja yang mereka pesan. Ada dua meja dan 8 kursi. Ira duduk disamping ibu, berseberangan dengan Kak Ray dan istrinya. Masih ada 4 kursi kosong untuk berjaga-jaga bila ternyata si ikhwan datang bersama teman atau keluarganya.

Tempat itu sudah cukup ramai dengan para pelanggan yang ngabuburit. Tak lama setelah itu  tampak seorang pelayan yang menempel kertas bertuliskan "Penuh" di pintu masuk.

"Mana orangnya, nak? Sudah datang belum? Kamu tahu enggak ciri-cirinya?" Ibu langsung menyerang Ira dengan pertanyaan seusai mereka duduk.

"Mungkin sebentar lagi, Bu. Iya tahu kok." Ujar Ira sambil menyebar pandangan.

"Assalaamu'alaykum." Seorang laki-laki berkacamata dengan baju koko warna coklat tua dan celana kain di atas mata kaki datang memberi salam kepada Ira sekeluarga.

"Wa'alaykumussalaam, silahkan duduk." Kak Ray berdiri dan menjabat tangan si pemberi salam kemudian memberi isyarat untuk duduk tepat disampingnya.

Untuk beberapa saat, Ira, ibu dan iparnya hanya diam saja. Hanya terdengar suara kak Ray dan si ikhwan yang tengah asyik mengobrol basa-basi.

Pertanyaan seputar pekerjaan, alamat rumah, dan kondisi keluarga yang sebenarnya sudah terjawab di biodata si ikhwan. Sepertinya kak Ray sedang melakukan pemanasan sebelum masuk ke pembahasan yang lebih serius.

Jam menunjukan pukul 18.15 wita. Masih ada waktu untuk mengajukan beberapa pertanyaan. Ira akhirnya memutuskan untuk tak membuang kesempatan.

"Orangtua sudah setuju atau gimana?" Ira memulai investigasi nya.

"Orangtua insyaallah setuju. Beliau ngikut saja." Ujar si ikhwan mantap.

"Ooh, memang rencananya mau nikah kapan?"

"Kalau itu diserahkan ke pihak perempuannya." Jawab si ikhwan sambil tersenyum.

"Setelah menikah, aku boleh tetap bekerja?"

"Boleh."

"Oh iya, soal memiliki anak. Apa harus lebih dari 4?"

Kali ini si ikhwan tertawa. "Iya karena Rasulullah itu akan bangga melihat umatnya yang banyak."

Ira terdiam beberapa saat. Istri kak Ray memberi isyarat untuk tenang.
"Jangan khawatir, masalah anak itu masih bisa dinegosiasikan setelah berumah tangga. Suami juga tak akan sampai hati membiarkan isterinya kewalahan mengurus anak." Kira-kira itulah yang ingin istri kak Ray sampaikan melalui tatapan teduhnya. Ira pun tersenyum berterimakasih.

"Kalau dari kamu enggak ada yang mau ditanyakan?" Tanya Ira penasaran. Sebab dari tadi hanya ia yang bertanya.

"Sekarang kesibukan Ira apa saja?"

"Aku di rumah aja, sambil jualan on line. Sama ikut di kegiatan dakwah."

Si ikhwan hanya manggut-manggut. Tidak ada tanggapan maupun pertanyaan susulan.

"Ada kepikiran poligami?" Tanya Ira akhirnya.

Si ikhwan tertawa seperti sebelumnya namun kali ini juga tampak sedikit salah tingkah. "Satu aja belum punya." Ujarnya.

Ira kecewa mendengar jawaban yang tak menjawab itu. Bagi Ira pertanyaan itu sangat penting.

"Kalau sudah ada satu?" Ira bersikeras untuk mendapat jawaban.

"Poligami itu sunnah. Tapi berbuat adil itu wajib. Dan adil itu susah. Kita aja belum tentu bisa adil sama diri sendiri, orangtua dan satu istri. Jadi belum ada kepikiran kesana."

Penjelasan yang terdengar lebih serius itu belum juga melegakan hati Ira. Dalam hatinya berbisik "Berarti bila suatu saat dia mengganggap dirinya bisa adil maka kemungkinan berpoligami itu ada."

Ibu yang duduk disebelah Ira seperti menangkap getar keresahannya. Beliau pun memberi sentuhan lembut untuk menguatkan putrinya.

Azan maghrib menggema menyelamatkan suasana. Mereka pun menghentikan pembicaraan dan mulai membaca doa masing-masing lalu menyantap hidangan buka puasa yang telah disajikan.

Acara ta'aruf pun selesai setelah mereka sholat berjama'ah di mushola. Kak Ray tak lupa menyampaikan tentang jawaban yang insyaallah akan diberikan seminggu lagi.

"Enggak masalah. Tergesa-gesa itu sifatnya setan. Jadi silahkan pikirkan dulu baik-baik." Ujar si ikhwan tak keberatan.

Keluarga Ira dan si ikhwan pun saling berpamitan di bawah langit malam yang menjadi saksi pertemuan yang masih menyisakan pertanyaan besar. Apakah dia benar jodoh  yang dikirimkan Tuhan sebagai salah satu berkah bulan Ramadhan? Wallahu'alam.

Cerpen by.dhini iffansyah.

Kamis, 04 Juni 2015

Ramadhan yang Dinanti?

Alhamdulillah, Ramadhan sebentar lagi !
Kaum muslimin menghitung hari menuju bulan nan suci.

Eits, sudahkah kita persiapkan diri?
Jangan sampai tamu agung itu malah berkecil hati.
Melihat kebersamaan dengannya dipenuhi dengan joget dan "haha-hihi" !

Aah.. sungguh sayang bukan?
Bila bulan penuh berkah dan ampunan, tidak disibukan untuk melakukan ketaatan.

Lantas ketika tiba hari lebaran...
Hal apa yang patut dirayakan?
Apa sekedar berbangga dengan pakaian dan menikmati hidangan?

Kemenangan itu bagi mereka yang ilmu dan amal sholehnya bertambah.
Mereka yang bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah.
Mereka yang larut dalam malam-malam panjang di atas sajadah.
Mereka yang tak kunjung bosan melantunkan tilawah.
Mereka yang ikhlas berbagi rezeki agar semakin berkah.
Dan mereka yang sukses menghias diri dengan akhlakul karimah.

Semoga Ramadhan tahun ini mengantarkan kita pada kemenangan sejati yang diraih sebagai bekal menuju taman syurgawi.

(dhini iffansyah)

Rabu, 03 Juni 2015

Tentang Ramadhan

Ini adalah penggalan kisah ku di bulan yang mulia. Sedikit memori berharga yang ingin ku tuangkan dalam rangkaian kata sederhana.

Puasa pertamaku saat usia 6 tahun. Mama selalu sabar membangunkan ku untuk ikut sahur. Aku tak pernah bisa mengingat menunya karena terpaksa mengunyah dalam kondisi setengah sadar bahkan dengan kedua mata yang masih terpejam. ( ̄﹁ ̄)

Ketika siang hari sehabis pulang sekolah, aku langsung "mengibarkan bendera putih" meminta kebijakan untuk berbuka puasa lebih awal. Mama pun mengizinkan. Air es dari kulkas selalu jadi sasaran utama. Kejadian yang sama berulang dan hanya berakhir bila sudah terserang batuk. (≧﹏≦)

Suatu sore aku pernah duduk di pangkuan Papa di teras rumah. Dengan polosnya aku nyeletuk, "Kok kayak ada bau kentut?". Dan seperti biasa Papa akan menjawab lembut. "Bukan, itu bau mulut Papa, kan lagi puasa. Bau mulut orang puasa itu bau Surga." Beliau pun mulai menjelaskan ini-itu perihal puasa. Aku hanya manggut-manggut meski tak seberapa paham. (∩﹏∩)

Salah satu hobinya Papa adalah hunting menu favorit sampai keluar kota. Berbagai kue khas banjar yang (mungkin) belum afdhol kalau belinya bukan di Pasar Wadai Barabai. Walaupun jauh, tapi senang juga bisa pergi bareng keluarga. (=^_^=)

Best moment of Ramadhan tentu saja saat berbuka puasa. Kami sekeluarga gotong royong menyiapkan hidangan di atas tikar yang sengaja digelar. Walau ada meja makan tapi kami lebih suka lesehan di ruang tv. Ngabuburit sambil nonton acara Kultum di rcti. (∩▂∩)

Suasana buka puasa bareng keluarga besar selalu ramai. Diwarnai dengan canda tawa dan saling menggoda satu sama lain sebagai ritual pelepas rindu karena jarang bertemu. Tanpa terasa azan maghrib pun menggema di langit senja. (∩▽∩)

Kelas 5 SD mulai ada penugasan di bulan Ramadhan. Ada buku khusus yang mencatat ibadah yang sudah dijalankan. Alhasil jadi rajin ikut Mama ke masjid untuk tarawih dan sholat subuh berjama'ah. Sehabis sholat langsung bergerombol dengan puluhan anak lain yang ngantri minta tanda tangan sang Imam masjid. (X﹏X)

Hingga tiba hari lebaran yang menyempurnakan kegembiraan. Pakaian dan sepatu baru, salam tempel, silaturahim ke berbagai tempat, makan-makan-makan dan makan !. Libur Lebaran. Lebaran sambil Liburan. *\(^_^)/*

Itulah kisah tentang Ramadhan ku yang dulu.

Di tahun ini ku harap Ramadhan yang jauh lebih berarti.
Lebih semangat dan bersungguh-sungguh dalam amal yaumi.
Bukan sekedar haha-hihi !
Agar kemenangan sejati itu diraih sebagai bekal menuju taman surgawi.

Aamiin ya Rabbal'alamin.

(dhini iffansyah)