Sabtu, 04 September 2021

Ikhtiar Mencari Rezki

Jakarta, 2016.

Semenjak pagi langit bolak-balik menurunkan hujan. Cuaca kota Jakarta yang galau seolah mewakili suasana hati seorang lelaki yang tampak pasrah  memandang  keluar dari jendela kamar kos-nya. Hari ini pun dia harus merelakan rezki yang tak ditakdirkan untuknya...

*** 

Kota Malang, 2009.

Yulia Rezki Dinanti atau lebih akrab disapa Uli. Secara fisik bisa dibilang rata-rata. Di luar sana masih sangat banyak yang lebih cantik dan stylish darinya. Namun kepribadiannya yang tak biasa telah membuat seorang lelaki yang cukup populer di Kampus Putih itu rela melakukan nyaris apa saja untuk mendekatinya.

Lelaki itu adalah Tiar, lengkapnya Raden Ikhtiar Al Fathan. Entah berapa banyak mantan kekasih yang sudah dimilikinya, belum termasuk TTM alias teman tapi mesra yang tersebar di seluruh angkatan. Bukan berarti Tiar tipe lelaki brengsek. Barangkali dia justru memiliki hati yang terlalu baik, hingga tak tega menolak setiap ungkapan cinta yang ditujukan untuknya. Seringkali perpisahan itu malah disebabkan karena dia telah diselingkuhi. Meski demikian, Tiar tak pernah berduka terlalu dalam. Sederet perempuan cantik itu tidak benar-benar cantik dimata Tiar. Semudah dia menerima, semudah itu pula dia melepaskan. 

Lantas apa yang membuat Uli berbeda? 
Uli yang nota bene adalah adik tingkat Tiar, adalah perempuan pertama yang membentangkan jarak dan memberi batasan yang jelas dengannya. Disaat perempuan lain berlomba mencuri perhatian dan berusaha mendekatinya. Tiar tentu tertegun sekaligus penasaran dengan sikap Uli yang terkesan sangat idealis. 

Sebenarnya bukan karena Uli tak tertarik dengan Tiar. Sedari awal dia menjadi mahasiswi baru, sosok Tiar yang good looking dan easy going seringkali menjadi buah bibir di kalangan para mahasiswi. Teman dekatnya kala itu pun terang-terangan bercerita bahwa telah mengirimkan surat cinta kepada Tiar selepas kegiatan ospek berakhir. 

Sebagai mahasiswi perantauan, sedikit banyak Uli merasa terbebani untuk bisa segera menyelesaikan kuliah. Keluarganya memang tidak miskin, tapi tidak juga bergelimang harta. Ayahnya yang merupakan pensiunan PNS, kini hanya menjalankan bisnis kecil-kecilan. Uli sadar bahwa dirinya harus fokus. Sebab biaya hidup dan kuliah akan terus mengalir hingga dia pulang ke kampung halaman dengan gelar sarjana. Asmara? Ah, itu bukanlah prioritas. Menjalin hubungan sekarang toh akan menjadi terlalu dini. Masih banyak impian yang ingin Uli realisasikan. Mungkin nanti ketika dia siap menikah, dia akan mempertimbangkannya lagi. Tapi untuk saat ini, jawabannya jelas tidak.

*** 

Setelah setahun berlalu, Tiar akhirnya menemukan alasan untuk bisa selalu bertemu Uli, yakni dengan cara bergabung di lembaga yang sama. Unit Pelayanan Teknis Bimbingan Konseling (UPT BK) pun menjadi saksi perjuangan Tiar. Rekan Tiar sesama aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sampai geleng-geleng kepala melihat kegigihan Tiar kali ini. "Semoga semangat kamu nyari dana buat kegiatan baksos kita nanti engga kalah dengan semangat kamu ngejar cewek ya, Yar!." Ujar Ibnu, Kepala Divisi Humas BEMFA Psikologi, setengah mengompori. 

Tiar sama sekali tak mau ambil pusing. Baginya apa yang ia rasakan lebih penting ketimbang pendapat orang lain. Semenjak kenal dengan Uli, Tiar merasa lebih bahagia. Perasaan bahagia itu tidak biasa. Dia sendiri kesulitan mendeskripsikannya. Tiar tersenyum hanya dengan memikirkan akan ada kemungkinan berpas-pasan  dengan Uli di lorong Gedung Kuliah Bersama (GKB). Tiar bahkan dengan mudahnya terpesona ketika Uli meminjamkan pulpen untuknya. Cukup dengan melihat Uli, sudah membuat Tiar bahagia. Oleh karena itu, Tiar ingin membalasnya dengan berusaha membuat Uli bahagia setiap hari. 

Berbanding terbalik dengan Tiar, Uli merasa canggung dengan gosip yang beredar tentang mereka. Sepertinya semua orang sudah tahu tentang perasaan Tiar padanya. Termasuk Ibu Hamidah, Kepala UPT BK, yang seolah sudah resmi menjadi bagian dari tim sukses cinta Tiar. "Uli dan Tiar nanti temani Ibu ya hari Minggu ini! Kita ada klien ABK*. Kalian berdua harus datang duluan. Siapkan alat tes dan ruang observasinya.". Titah Bu Hamidah dihadapan rekan BK lainnya yang langsung disambut  mereka dengan cieee menggoda. 

Uli hanya bisa mengangguk, sedang Tiar tak bisa menyembunyikan ekspresi bahagianya hingga membuat ruangan semakin gaduh. Sebenarnya Uli sangat benci situasi semacam itu, tapi dia tahu bahwa tak satupun dari orang-orang itu pantas ia benci. Uli menganggap ibu Hamidah sudah seperti ibunya sendiri. Kemudian Mas Raka, Tasya, Dwi, dan rekan BK lainnya merupakan teman yang selalu setia membantunya selama ini. Lalu Tiar... Tiar juga tak melakukan kesalahan apapun. Apa yang salah dengan menyukai seseorang? Tiar tak pernah memaksa atau mengganggunya. Meski demikian, Uli selalu bisa merasakan kehadiran dan perhatian Tiar untuknya. 

Pernah suatu ketika, Uli kesulitan mendapatkan narasumber transgender sebagai tugas kuliah. Tiar yang mengetahui hal itu langsung mencarikan kontak narasumber yang bisa dihubungi dan merekomendasikan tempat yang cocok untuk melakukan wawancara. Disaat yang lain, Uli yang sangat menggemari penulis Asma Nadia, tiba-tiba saja mendapatkan 3 buku terbaru Asma Nadia lengkap dengan tanda tangannya!. Hadiah-hadiah itu tidak pernah diserahkan langsung oleh Tiar. Tiar bahkan tidak menyebutkan namanya. Namun Uli tahu bahwa itu pasti darinya. Memang siapa lagi? 

*** 

(bersambung insya Allah) 

*ABK = Anak Berkebutuhan Khusus