Minggu, 23 Agustus 2015

Ta'aruf (Bagian 2)

Setelah satu minggu berlalu. Malam-malam panjang selalu dilewati Ira dengan sholat dan berdoa, semata memohon petunjuk dari Rabb-nya.

Hati yang semula ragu sekarang mulai meyakini. Insyaallah ikhwan itu adalah sang pendamping yang telah lama dinanti.

Kak Ray pun menghubungi si Ikhwan. Tanpa basa-basi meminta akad nikah dilangsungkan 4 bulan dari sekarang. Tak banyak yang diminta. Cukup acara sederhana yang mengundang orang terdekat dari kedua pihak keluarga.

Si Ikhwan mengiyakan. Ia berjanji akan segera datang ke rumah, bersama dengan orangtuanya untuk mengkhitbah sekaligus membicarakan persiapan akad dan walimah.

Namun.....

Entah mengapa. Meski Ira sudah menduga-duga dalam benaknya. Tapi ia berusaha untuk tetap berbaik sangka.

Sudah sebulan dari pembicaraan singkat kak Ray dan si Ikhwan via telepon. Janjinya untuk datang mengkhitbah beserta keluarga tak kunjung tiba. Pun ketika ditanya, si ikhwan hanya meminta maaf dan mulai beralasan macam-macam.

Kak Ray amat kecewa. Terlebih tak tega pada adiknya.

"Engga apa-apa kok Kak. Mungkin dia dan keluarga memang sedang sibuk. Jadi belum bisa datang kesini." Ira mencoba menghibur kak Ray yang terlihat begitu merasa bersalah.

Kak Ray tak bisa berkata apa-apa lagi, selain memandangi senyuman tabah dari bibir adiknya.

Kalau saja si Ikhwan itu yang ada di hadapan Ray sekarang, ia tak akan ragu untuk menghadiahi bogem mentah sebagai tanda terimakasih atas harapan palsunya selama ini.

Kak Nina yang melihat pemandangan yang sama selama satu bulan itu akhirnya angkat bicara. "Coba kamu hubungi teman yang dulu mengenalkan kalian. Mungkin dia tahu sesuatu."

Ira tersentak. Benar juga kata kak Nina. Mengapa tak terpikirkan olehnya? Sore itu juga ia mengirimkan pesan sambil terus berharap akan memperoleh penjelasan.

Wa'alaykumussalaam Ra. Afwan, semua yang terjadi diluar perkiraan kami. Saat ini kami masih berupaya keras agar prosesnya bisa segera dilanjutkan. Tapi sepertinya Allah punya rencana lain. Afwan. Insyaallah besok beliau akan datang untuk menjelaskan.

SMS balasan itu malah semakin membuat Ira bingung. Apa maksudnya? Apa itu berarti prosesnya tetap dilanjutkan atau tidak?

Alih-alih bertanya lagi, Ira memutuskan untuk menahan diri dan menyimpan pertanyaan itu untuk si Ikhwan. Biarlah, apa pun yang dikatakannya nanti. Insyaallah Ira sudah siap.

***

Suasana ruang tamu sore hari itu begitu canggung. Si ikhwan datang seorang diri. Sejak awal kak Ray sudah menunjukan rasa tidak sukanya. Hingga memaksa kak Nina berdehem berulang kali, untuk mengingatkan agar kak Ray bisa menjaga sikap serta menahan emosi.

"Langsung saja. Jadi bagaimana kelanjutannya? Apakah mau diteruskan atau tidak?" Kak Ray memulai pembicaraan.

Si Ikhwan menelan ludah. Perasaan campur aduk menyelimutinya. "Sebelumnya saya minta maaf bila kedatangan saya ini dinilai sangat terlambat. Saya tidak ada maksud mengulur-ulur waktu. Sejujurnya saya sudah sangat yakin dan ingin menuruskan......." Tiba-tiba kalimatnya terhenti begitu saja.

"Sebenarnya ada apa akh?" Ira akhirnya memberanikan diri untuk menanyakan hal yang amat mengusik dirinya belakangan ini.

"Orangtua..... mereka tidak setuju." Si Ikhwan tertunduk lemas usai mengatakannya. Sementara Ira, Kak Ray dan Kak Nina serentak mengernyitkan dahi.

"Bukannya dulu kamu bilang orangtua ngikut saja?!" Kak Ray yang masih ingat betul dengan keterangan si Ikhwan saat pertemuan pertama mereka, merasa sangat tidak terima.

"Iya betul. Tapi itu sebelum....." Si Ikhwan terdiam lagi.

"Sebelum apa? Apa ternyata kamu sudah dijodohkan?" Kali ini kak Nina bertanya dengan nada yang ditinggikan. Ia semakin geregetan mendengar penjelasan yang bertele-tele.

"Bukan. Bukan begitu." Si ikhwan tampak pucat. Keringat mengucur dari dahinya.

Ira yang melihat kondisi itu berbalik menjadi kasihan. "Jadi apa alasan sebenarnya?" Ujar Ira dengan tenang namun tetap tegas.

"Orangtua tahu tentang kabar ibu anti yang nikah siri..."

Mendengar itu kak Ray langsung tersandar di sofa. Kak Nina bahkan langsung berdiri dan meninggalkan ruang tamu. Hati mereka menjadi terbakar saat pernikahan siri itu disebut lagi sebagai sumber masalah.

"Aa...apa..."  Ujar Ira terbata. Sambil sekuat tenaga menahan air mata.

"Ayah tiri anti itu adalah suami dari sahabat orangtua ana. Mereka sudah kenal sejak lama. Jadi..."

"Cukup akhi. Tolong jangan dilanjutkan." Ira buru-buru memotong penjelasannya. Ia tak sanggup bila harus mendengar sekali lagi, kenyataan bahwa ibunya adalah seorang perusak rumah tangga dan perebut suami orang. Tentu tak berlebihan bila orangtua si Ikhwan tak merestui hubungan mereka. Orangtua mana yang dengan senang hati memiliki besan seperti itu?

"Insyaallah ana dan keluarga sudah bisa memahami alasan antum." Ira melanjutkan dengan suara yang tercekat.

Kak Ray menatap adiknya dengan penuh rasa iba. Kemudian segera beralih pada si Ikhwan. "Tunggu dulu. Hal ini masih bisa kita bicarakan lagi kan? Pernikahan siri ibu kami itu enggak ada kaitannya dengan Ira. Kami bahkan enggak pernah merestui hubungan mereka..."

"Sudah kak." Ira menghentikan pembelaan kak Ray sambil menggenggam erat tangannya.

"Ini bukan hal yang bisa dipaksakan. Pernikahan itu enggak cuma menyatukan dua orang, tapi juga menyatukan dua keluarga. Karena itu sekarang semuanya sudah jelas. Ana mohon maaf yang sebesar-besarnya. Antum bisa pulang sekarang."

"Enggak ukh, ana yang seharusnya minta maaf pada anti sekeluarga. Ana pamit. Assalaamu'alaykum." Si Ikhwan pergi dengan terburu-buru. Jantungnya masih terus berdegup kencang. Menerima semua kekecewaan Ira dan saudaranya. Terutama kekecewaannya pribadi. Istikharah panjang selama ini tak lantas membuat jalan cintanya menjadi mulus. Meski hati berkata iya, namun ternyata takdir masih bisa berkata tidak.

Cerpen by.dhini iffansyah

Selasa, 04 Agustus 2015

Janji Ibu

Bila ada hal yang tak pernah terbayangkan di dunia ini, mungkin itu adalah menyaksikan ibu kandungmu menikah lagi dengan laki-laki lain. Bahkan dia bukan laki-laki biasa, melainkan seorang ayah dan suami dari wanita lain !

Ya, ibuku menjadi istri kedua. Tanpa restu dari sang istri pertama dan kami sebagai anak-anaknya.

Bagai petir disiang bolong. Nyaris saja aku pingsan selepas menerima telepon dari keluarga di kampung. Seorang kerabat mengatakan, ibuku sudah menikah disana kemarin. Dihadiri oleh sanak saudara yang mendukung nikah siri itu.

Sungguh sampai hati kalian mengkhianati almarhum bapak. Sosok yang selama ini terlampau baik pada kalian... pada ibu.

Dengan jabatan dan kekayaannya semasa hidup, tentu tak sulit baginya bila ingin menikah lagi. Namun beliau memilih setia. Monogami hingga akhir hayatnya. Menjadikan ibuku yang pertama dan terakhir, wanita teristimewa yang diharapkan menjadi bidadari surga baginya.

Pupus sudah...

Bila bapak melihat ini tentu akan patah hatinya. Tangisku tak terbendung membayangkan betapa kecewanya bapak bila ia tahu tentang pilihan ibu untuk tak setia. Ibu memilih menyalahi janjinya. Janji tak menikah lagi bila kelak bapak lebih dulu tiada. Janji yang ia buat di saat-saat terakhir menjelang kematian bapak. Janji yang ia umbar pada siapa saja yang hadir di pemakaman suaminya. Janji itu palsu.

Kini ku tak tahu kemana lagi harus mencari cinta untuk ibu. Cinta yang selama ini membesarkanku dalam sekejap menghancurkan jiwaku.

Ibu...

Apa ini sungguh berarti untukmu?

Menjadi janda perusak rumah tangga orang lain. Lalu mengabaikan anak-anak mu bagai rongsok tak berarti.

Apa ini sungguh membuatmu bahagia?

Maka berbahagialah ibu di atas derita istri pertama, derita anak-anak yang broken home, dan derita almarhum mantan suamimu.

Berbahagialah ibu menjadi gunjingan para tetangga, menjadi sebab rasa malu kami memandang realita, menjadi ibu yang dimabuk cinta yang fana.

"Sudahlah Nina... "

Dalam lamunan panjangku, ternyata ada seseorang yang menghampiri dan menyapaku dengan lembut.

"...jangan terus larut dalam kesedihan. Kamu masih memiliki saudara, sahabat, dan tentu saja Allah yang selalu mendekap doa-doa kita semua. Lalui ujian ini dengan sabar dan ikhlas supaya kamu bisa naik kelas. Aku yakin, melalui kejadian ini Allah ingin menunjukan bahwa betapa kamu dan saudara-saudaramu adalah muslim yang kuat."

Aku pun tersenyum membalas ketulusannya. Katanya sahabat sejati itu 1:1.000. Dan bagiku, Gea adalah orang itu. Dia tetap bersamaku ketika yang lain memilih menutup mata dan telinga namun terus membuka mulutnya untuk hal tak berguna. Alhamdulillah dengan izinNya, ku temukan lagi hikmah lain dari sebuah malapetaka.

Cerpen by dhini iffansyah