Minggu, 29 November 2015

Alhamdulillah, aku punya Allah.

Begitu tenang Dia membimbingku menuju jalan keluar yang ku pinta..

Dan tak pernah sedikitpun Dia lelah mendengarkan resah yang ku rasa..

Alhamdulillah, aku punya Allah..
yang selalu punya cara dan berkuasa membantu setiap hamba-Nya.

(dhini iffansyah)

Jumat, 27 November 2015

Re-Reading = Re-Hurting

"You can't start a new chapter of your life, if you keep re-reading the last one."

Seharusnya memang seperti itu. Abaikan saja yang telah lalu,  berfokuslah pada apa yang kita jalani saat ini, sambil terus mempersiapkan masa depan. Namun tetap saja rasanya menyakitkan.

Bukan maksudku mengungkit masa lalu,  tapi semua itu benar-benar menganggu. Sebuah cerita yang mungkin selamanya tak akan pernah bisa terlupa.

Lalu aku harus bagaimana?

Berpura-pura bahwa semua baik-baik saja?

Padahal hatiku tak mungkin sanggup menanggung curiga yang begitu lama.

Aku ingin bisa percaya. Tapi sulit rasanya...

Karena itu maafkan.

(dhini iffansyah)

Kamis, 26 November 2015

Ibadah? Malas ah!

Pernah mengalami malas beribadah? Misalnya sholat, zikir atau tilawah?

Mungkin juga ada rasa bosan karena ibadah itu terus diulang-ulang dalam sehari dan terjadi setiap hari.

Akhirnya ibadah yang dilakukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Dikerjakan seadanya bahkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Satu tips untuk mengatasinya adalah...

"SADARI bahwa setiap IBADAH ITU bukanlah sekedar kewajiban dari Allah azza wa jalla, melainkan KEBUTUHAN POKOK SETIAP MANUSIA."

Sebagai seorang hamba kita memang wajib taat dan menyembah kepada Allah. Namun setiap amal ibadah itu sebenarnya untuk kebaikan kita sendiri, sedangkan Allah sama sekali tidak memerlukannya.

Kita beribadah atau tidak, Allah tetaplah Tuhan Yang Maha Segalanya, sikap ingkar kita tak sedikitpun akan mempengaruhi Kekuasaan-Nya.

Kelak ketika ruh telah berpisah dari jasad, amal ibadah itulah yang akan menjadi bekal kita di akhirat.

Seberapa banyak dan seberapa baik kualitas bekal kita disana?
Jawabannya tergantung apa yang kita perbuat saat ini.

Bila kita ingin menghadap Allah dengan membawa sebaik-baik bekal, maka lakukanlah setiap ibadah itu dengan sebaik-baik pula (terutama ibadah sholat, karena amal inilah yang paling pertama dihisab sebelum amal-amal lainnya).

Setelah kita tuntas menunaikan hak-hak Allah, barulah kita pantas berharap kehidupan yang barokah, kematian yang husnul khotimah, hingga sebuah istana di surga-Nya yang terindah.

Jangan sekali-kali memimpikan semua itu bila zikir saja sering terlupakan, tilawah dikesampingkan, bahkan shalat pun sengaja dilalaikan (ditunda-tunda atau tidak dikerjakan sama sekali).

Ingat, bukan Allah yang rugi melainkan diri kita sendiri.

Padahal setiap orang itu akan masuk surga, kecuali yang enggan. Yaitu orang-orang yang enggan mentaati syariat Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah saw.

Wallahu'alam. Semoga bermanfaat.

(dhini iffansyah)

Rabu, 25 November 2015

Cinta Sederhana

Aku ingin cinta yang sederhana,
bukan cinta yang penuh drama.

Tak perlu ucapan manis bertabur bunga,
melainkan kesungguhan untuk bisa bersama.

Aku ingin cinta yang sederhana,
bukan cinta yang penuh drama.

Tak meminta untuk menunggu lama,
atau bersabar hingga waktunya tiba.

Siap membuktikan cinta karena-Nya,
dalam mahligai rumah tangga yang mulia.

Aku ingin cinta yang sederhana,
bukan cinta yang penuh drama.

Bahagia menjadi diriku apa adanya,
bukan dengan berpura-pura sempurna.

Dengan kisah yang menentramkan jiwa,
meski tak bergelimang harta.

Aku ingin cinta yang sederhana,
bukan cinta yang penuh drama.

Terbebas dari rasa curiga,
atau sikap yang tak setia.

Saling menghargai walau berbeda,
dan senantiasa berbagi dikala suka maupun duka.

Aku hanya ingin cinta yang sederhana...

(dhini iffansyah)

Senin, 23 November 2015

"Sesuatu yang dikubur itu tidak selalu mati. Adakalanya ia menemukan cara untuk tumbuh menjadi sesuatu yang lebih indah."

Kamis, 19 November 2015

Puisi Hati

Betapa lemah dan rapuhnya hati tanpa iman yang menghiasinya.

Berlebihan dalam kebahagiaan dan kesedihan yang menimpanya. Padahal semua itu hanyalah takdir Tuhan yang ditetapkan untuknya.

Tiada kekuatan melainkan atas izinNya. Tiada kesempitan yang tak sanggup dilapangkan olehNya.

Duhai hati janganlah kau terlena akan urusan dunia. Suka dukamu disini hanyalah sementara.

(dhini iffansyah)

Senin, 16 November 2015

Al Baqarah: 216

“Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”


Minggu, 15 November 2015

Dying Heart

Tuhan...
Aku tahu KAU Maha Tahu...
Aku tahu KAU tak akan keliru...
Aku tahu KAU telah tetapkan yang terbaik untuk ku.

Tapi tolong izinkanlah aku untuk bersedih kali ini...
Izinkan aku untuk menangis dan mengadu dalam dekap kasih sayang MU.

Maafkanlah aku yang terburu-buru dalam berprasangka...
Maafkanlah pula diriku yang tak sengaja berharap pada sesama.

Tuhan...
Sungguh, luka ini karena kesalahan ku sendiri...
Tapi tolong bantu aku untuk menyembuhkannya...
Karena aku hampir tak berdaya menahan sakitnya.

(dhini iffansyah)

Kamis, 05 November 2015

Broken

"BANGS*T!!" Kata makian itu meluncur dari lisan ibu. Sungguh diluar dugaan, Kak Ray pun merasa begitu terluka. Ini kali pertama ibu berkata kasar padanya.

Ira menangis di dalam kamarnya. Sementara Kak Nina tak tahu berada dimana. Belakangan dia semakin jarang di rumah. Lebih suka menghabiskan waktu bersama teman-teman kantornya. Entah sampai kapan neraka ini akan berkobar di dalam rumah yang semestinya menjadi surga. Api asmara antara ibu dengan suami barunya benar-benar membakar keharmonisan keluarga Ira.

Sepuluh menit berlalu, akhirnya pertengkaran itu pun selesai. Terdengar suara pintu depan yang dibanting dengan kasar, disusul dengan suara mobil yang melaju meninggalkan rumah.

Tok.. tok.. tok. Suara pintu kamar Ira diketuk dengan perlahan.

"Masuk kak..." Ira mempersilahkan dan buru-buru menghapus air matanya.

"Ira, makan dulu yuk? Seharian ini kamu belum makan apa-apa kan?" Kak Ray mendekati Ira yang tak bergeming di atas kasur. Ia lalu duduk disamping Ira, menatapnya dengan ekspresi seperti tak terjadi apa-apa.

"Aku enggak lapar kok kak. Ibu kemana?" Ira bertanya dengan suara sedikit bergetar.

Ray menghela nafas. "Ibu sudah pulang."

"Pulang kemana kak? Rumah ibu kan disini?!" Ujar Ira heran.

"Enggak lagi. Sekarang ibu sudah punya rumah baru dengan suaminya."

Mendengar itu air mata Ira langsung mengalir begitu saja. Hatinya terasa ditusuk-tusuk. Belum usai dukanya kehilangan bapak. Mengapa sekarang ibu juga harus dirampas darinya?

Kak Ray duduk disamping Ira dan mengusap air mata adiknya dengan lembut. "Sudahlah Ra, apa kamu enggak capek nangis terus? Ibu aja sudah enggak peduli sama kita. Dia kesini hanya demi uang."

"Apa kak?!" Ira kaget. Ia berharap hanya salah mendengar. Tidak mungkin ibu sampai seperti itu. Walau sekarang ibu sudah menikah lagi, namun sampai kapanpun mereka akan selalu menjadi anak ibu.

"Ibu...." Kak Ray tampak ragu-ragu ingin menjelaskan.

"Ibu kenapa kak? Kakak kok bisa ngomong kayak gitu soal ibu?"

"Tadi ibu minta buku tabungan dan surat berharga lainnya."

"Tapi buat apa kak? Selama ini kan selalu kakak yang simpan. Memangnya ibu berencana mau jual aset keluarga kita? Apa ibu lagi perlu banyak uang?." Ira tetap berupaya untuk berprasangka baik pada ibunya. Barangkali ada masalah yang ia tidak tahu.

"Entahlah Ra. Dua hari yang lalu ibu sempat minta 2 juta ke kakak. Dan barusan ibu minta uang lagi. Pas kakak tanya baik-baik, ibu malah marah."

"Jadi tadi kakak menolak permintaan ibu?" Tanya Ira dengan nada suara yang menyayangkan.

"MEMANGNYA HARUS GIMANA LAGI RA? KALAU KAKAK TURUTIN TERUS MAUNYA IBU, SEMUA WARISAN BAPAK BISA HABIS DALAM SEKEJAP. MEMANGNYA KAMU MAU HIDUP MELARAT? SAMPAI MATI PUN KAKAK ENGGAK AKAN MEMBIARKAN HIDUP KAMU SAMA NINA JADI MENDERITA. KALIAN BERDUA SEKARANG JADI TANGGUNGJAWAB KAKAK." Suara Kak Ray mendadak lebih nyaring dari sebelumnya dan ekspresinya pun berubah marah.

Ira menyadari bahwa ia telah menyinggung perasaan Kak Ray. Ia berusaha menggenggam tangan kakaknya namun segera ditepis oleh Ray.

"Maaf kak, Ira cuma... selama ini kita selalu nurut apa kata ibu, terutama...." Ira mengigit bibirnya. Kali ini ia sangat berhati-hati dengan ucapannya. Ia tidak ingin membuat kakaknya semakin salah paham.

"Sudahlah." Ray bicara sembari berlalu dari kamar adiknya. Ray tahu dan sadar betul bahwa ia dan adik-adiknya selama ini memang selalu menjadi anak yang penurut. Terutama dirinya. Seingatnya ia tak pernah sekalipun membantah perkataan maupun keinginan orangtuanya. Namun kali ini berbeda. Sikap berbakti yang selama ini ia jaga seolah menjadi sia-sia.

Cerpen by dhini iffansyah

Senin, 02 November 2015

Dilema

Aku tahu ada yang salah.
Aku tahu itu, tapi tak tahu apa, karena itu aku marah.

Aku tahu tak ada gunanya marah.
Aku tahu itu, tapi aku mulai lelah,
karena aku tak mengerti walau coba tuk pahami.

Aku ingin menjelaskan.
Justeru membuat semakin terasingkan, karena akhirnya tetap tak sejalan.

Aku ingin berlari.
Sendiri berteman sepi, tapi rindu selalu menghampiri. Haruskah ku kembali?

(dhini iffansyah)