Malang, 10 November 2012
Semakin mendekati hari kelulusanku sebagai mahasiswa S1. Mama dan
kakak perempuanku tampak antusias untuk menghadirinya. Kemarin mereka
menelepon. Kami membicarakan panjang lebar terkait persiapan acara
nanti. Harusnya aku bahagia namun nyatanya masih ada yang mengganjal
dalam benak ku.
Jakarta, 16 Desember 2009
Papa baru saja menjalani operasi jantung. Setelah semalam
diperbolehkan pulang dari rumah sakit Pusat Jantung Nasional, Harapan
Kita. Hari ini aku, mama dan papa berangkat ke bandara Soekarno-Hatta.
Kami diantar oleh salah seorang sepupuku bersama isteri dan juga
anaknya. Seperti biasa, aku memilih duduk didekat pintu dan papa duduk
tepat disampingku, ia duduk ditengah, diantara isteri dan anak
perempuannya. Sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam, melempar
pandangan keluar, memperhatikan aktivitas pagi warga Jakarta.
Setibanya di bandara, aku duduk-duduk sebentar bersama mama dan papa,
dan tidak jauh berbeda dari sebelumnya, aku pun lebih banyak diam.
Tidak lama, aku pergi untuk check in di lokasi yang berbeda
karena memang tujuan aku berbeda. Aku harus kembali ke Malang untuk
kuliah, sedangkan mama dan papa pulang ke Banjarbaru. Aku pun berpamitan
pada kedua orangtuaku, tanpa ada firasat apapun.
Malang-Banjarbaru, 17 Desember 2009
Siang ini aku ada kuliah psikologi industri dan organisasi. Aku
memutuskan untuk tidur dulu karena masih merasa ngantuk. Sudah jadi
kebiasaan ketika aku tidur maka handphone ku akan ikut “tidur”. Aku sengaja mematikan handphone agar tidurku tidak terganggu dengan suara dering sms maupun telepon. Namun hari ini berbeda.
Dering itu berasal dari telepon kosan, cukup nyaring dan terdengar
jelas karena letaknya berada di depan kamarku. Tapi aku acuh saja, berharap ada orang lain yang akan mengangkatnya.
Ibu kos pun segera menerima panggilan itu. Samar-samar aku mendengar
ibu kos berbicara beberapa saat dengan orang dibalik telepon. Tidak
seperti biasa, ibu kos mengetuk kamarku, sambil memanggil-manggil
namaku.
“Dhiinn…. Dhini.. ada telepon dari tante…”
Dengan sedikit malas aku menyahut kemudian bangun dan keluar kamar.
“Iya bu..”
Setelah membuka pintu, masih ku dapati sosok ibu kos yang memandangku dengan iba. Aku sudah merasa ada yang tidak beres
“Sabar ya dhin...” ibu kos ku mengatakan itu dengan sungguh-sungguh.
Akupun meraih gegang telepon dengan agak gugup.
“Assalaamu’alaykum…”
“Wa’alaykumussalaam nak….. papa sudah gak ada….” Suara tante agak gemetar dan penuh emosi, tante berbicara sambil menangis.
Aku bingung… shock… dan diam. Sementara tante meneruskan berbicara ini dan itu, tapi aku seperti sudah tidak lagi berada disana.
Informasi yang ku terima dari tante terpotong-potong karena pikiranku sendiri yang sudah tidak bisa fokus.
Intinya adalah aku harus pulang saat itu juga. Aku harus segera
berkemas dan pergi ke bandara Juanda untuk mengejar penerbangan sore itu
ke Banjarbaru.
Aku menangis. Jiwaku serasa berpisah dari ragaku, terhuyung-huyung
menuju kamar. Aku sudah tidak mengindahkan ibu kos yang ternyata masih
berada didekatku.
Di dalam kamar, sambil terus menangis, aku mengemasi barang seadanya,
memasukan beberapa lembar pakaian dan benda penting lainnya.
Setelah selesai packing aku mulai agak tenang, aku
menelepon operator taksi untuk menjemput. Sambil menunggu, aku pun duduk
di ruang tamu, ditemani oleh dua orang adik kosan yang juga hanya bisa
diam melihat keadaanku.
Di dalam taksi, aku kembali menangis.
Sejenak akal sehatku kembali, teringat bahwa siang itu ada kuliah. Aku pun mengirimkan SMS kepada salah seorang teman untuk memintakan izin
sekaligus untuk beberapa kuliah kedepan. Awalnya aku hanya menyampaikan
izin karena harus pulang ke Kalimantan, tapi temanku lantas
bertanya-tanya, mengapa mendadak? Akhirnya ku sampaikan bahwa ayahku
baru saja meninggal dunia.
Tak lama, kabar itupun cepat tersebar. SMS belasungkawa dari
teman-temanku membanjiri inbox. Entah mengapa, pesan simpatik dari
mereka semakin membuat perasaanku berat dan air mata semakin sulit untuk
dibendung.
Aku pun tiba di bandara Juanda. Tante sudah menunggu dan segera
memelukku ketika keluar dari taksi. Sama seperti ketika membaca SMS, pelukan dari tante juga membuat lukaku semakin terasa perih.
Hari mendekati senja ketika kami sampai di bandara Syamsudin Noor.
Kakak laki-laki ku sudah ada disana, berdiri menyambut kedatangan kami.
Untuk pertama kalinya, bukan papa yang menjemputku di bandara. Air
mata itupun kembali menetes dalam pelukan kakak laki-laki yang berusaha
tegar menyabarkanku.
Di depan rumah sudah terpasang tenda dengan sederetan kursi-kursi.
Para tetangga dan kerabat dekat pun sudah banyak yang berdatangan.
Aku berjalan melewati orang-orang itu, memasuki ruang tamu yang juga sudah dipenuhi oleh para pelayat.
Kakak perempuanku ada diantara mereka, matanya sembab. Ketika melihat
aku datang, ia pun berdiri dan kami pun saling memeluk dan menangis tanpa ada suatu kata yang terucap.
Dan setelah serentetan tangis yang terjadi hari ini….
Yang paling mengiris hati adalah ketika aku menghampiri jenazah papa…
Badanku terasa lemas…
Tas yang ku bawa terjatuh begitu saja…
Aku bahkan merasa sulit bernafas…
Menyaksikan papa benar-benar sudah tiada.
Aku tersungkur dihadapannya, sosok yang kemarin baru saja bersamaku di Jakarta. Sekarang sudah pergi untuk selamanya.
Surabaya, Juli 2008
Menuju awal semester baru perkuliahan. Sekarang aku sudah menjadi
mahasiswi Fakultas Psikologi UMM. Mama dan papa memutuskan untuk datang
menjenguk anak bungsunya. Aku sengaja datang ke Surabaya untuk menjemput
mereka. Segera setelah mencium kedua tangan orangtuaku, papa memberikan
sebuah tas hitam yang sejak tadi dibawanya. Tas itu berisi laptop. Di
dalamnya aku juga menemukan sebuah kartu dan ucapan yang ditulis sendiri
oleh papa.
“Papa dukung kamu meraih cita-cita. Jaga harga diri dan kehormatan keluarga.. InsyaAllah kamu akan jadi orang yang berguna.”
Aku sengat senang, bukan semata-mata karena laptop yang papa berikan.
Tapi karena kasih sayang, perhatian, dan dukungan yang kurasakan. Sejak
saat itu akupun berjanji pada diriku sendiri., aku akan
bersungguh-sungguh dalam kuliah dan menjaga kepercayaan yang sudah
mereka berikan.
Ketika sampai di rumah tante, kami beristirahat dan ngobrol santai di
ruang makan. Pada suatu percakapan, papa mendadak jadi melankolis dan
berucap, “Apa aku masih sempat melihat Dhini di wisuda?” nada bicara itu begitu pesimis dan mengandung kesedihan.
Anggota keluarga yang lain menghibur dan meyakinkan bahwa papa bisa. Sakit yang papa derita akan sembuh. Setelah ini papa akan semakin sehat
dan akan menghadiri wisuda bahkan melihatku sampai berkeluarga.
**Namun Allah memiliki rencana berbeda… rencana yang mungkin saat itu sudah “disadari” oleh papa...
Ya Allah... sampaikan sejuta cinta, sayang, dan rindu untuknya disana...
Sampaikanlah bahwa hingga kini hamba masih menggenggam erat impiannya dan berusaha mewujudkannya.**