Jumat, 15 Juli 2016

Jejak Hijrahku

Mengapa Allah memilihku ?

Pertanyaan ini mulai terbesit kembali. Semakin ditelusuri, semakin aku yakin bahwa ini semua benar-benar kuasa Illahi.

Tahun 2008 silam, berkat paksaan ibu akhirnya ku putuskan berhijab. Hanya hijab ala kadarnya. Bukan dengan kerudung lebar seperti yang biasa ku pakai sekarang. Rok dan gamis pun hanya kadang-kadang ku kenakan. Terlebih lagi kaos kaki dan deker pergelangan tangan. Semua perlengkapan itu tampak begitu merepotkan.

Sebenarnya jauh sebelum diterima di perguruan tinggi, aku sudah merencanakan untuk menjadi wartawan koran kampus BESTARI. Saat itu aku memang sangat berminat pada bidang jurnalistik dan kepenulisan. Namun Tuhan memiliki rencana lain.

Tiba-tiba aku mendapat ide untuk mencari komunitas muslim dan bergabung bersama mereka. Padahal dulu saat masih SMA, diajak pengajian pun hanya senyum-senyum saja, aku sama sekali tidak tertarik apalagi tergerak untuk melangkahkan kaki kesana.

Mungkin karena hidup merantau jauh dari keluarga membuatku merasa sepi dan hampa. Aku merindukan suasana rumah. Rumah yang bisa membuatku nyaman dan aman berada di dalamnya. Dengan mudah aku temukan semua itu pada diri mereka, orang-orang shalih yang terlihat begitu menjaga dan terjaga. Walau sepenuhnya sadar bahwa aku berbeda, aku tetap ingin ada diantara mereka.

Nama rumah itu adalah Lingkar Psikologi Asy-Syifa' atau lebih akrab disebut LISFA. Sebuah lembaga semi otonom bidang kerohanian islam di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

Aku mulai menaruh perhatian pada LISFA bukan pada saat PESMABA (Pengenalan Studi Mahasiswa Baru), melainkan saat seorang ukhti mempromosikan LDL (Latihan Dasar LISFA) ke ruang kelas kami, F class 2008. Penampilannya sederhana tapi memesona. Senyum ceria dan bersahabat terpancar jelas diwajahnya. Dari sanalah aku semakin mantap untuk mendaftarkan diri dan mengikuti rekrutmen LISFA yang diadakan selama dua hari, satu malam.

Ketika malam tiba, seorang akhi menjelaskan sesuatu kepada kami. Beliau berkata, "Siapa yang tidak kenal dengan Thomas Alva Edison ? Pada malam hari ini kita dapat berkumpul dengan keadaan terang benderang karena seorang Edison yang telah menemukan bola lampu. Bayangkan! begitu populernya Thomas Alva Edison, begitu luar biasa kecerdasan dan jasanya bagi milyaran manusia di dunia. Namun dengan semua itu, ketika ia wafat tetap tak bisa masuk surga."

Deg!

Barangkali itu adalah saat pertama aku mulai menyadari hakikat iman di hati. Sungguh berharga keimanan yang telah diwariskan oleh orangtuaku ini.

Seusai LDL, aku pun mulai berkenalan dengan mentoring islam. Mentoring ini diadakan sepekan sekali bersama dengan seorang mentor dan beberapa akhawat lainnya.

Sosok mentor pertamaku juga amat mengesankan. Anggun, cerdas dan shalihah! Tutur katanya lembut ditambah dengan senyuman tulus yang selalu menghiasi paras cantiknya meski tanpa make up. Darinya aku mulai belajar tentang apa itu ukhuwah islamiyah.

Hari-hari bersama dengan LISFA memang tak selalu manis. Memang begitulah resiko menjadi aktivis. Namun ajaibnya aku tetap bertahan disana. Ada saja "sebab" yang terjadi hingga niat untuk pergi selalu diurungkan berulang kali.

Akhirnya yang ku lakukan adalah mencoba menikmati setiap peran yang diamanahi. Mulai dari magang di Departemen Public Relation, kemudian menjadi Sekretaris lalu Ketua di Departemen Study Research, dilanjutkan sebagai Sekretaris Umum, Bendahara Umum, dan terakhir sebagai salah satu anggota di Majelis Pertimbangan Organisasi.

Masyaallah. Pengalaman 4 tahun yang sungguh luar biasa dan tak mampu ku goreskan dengan kata-kata. Bersama mereka ku temukan mutiara hikmah kehidupan. Mereka menjadi saksi sekaligus teman dalam perjalanan hijrahku. Dan ku rasa inilah jawabannya. Alasan mengapa Allah memilihku berjuang bersama mereka.

"....Ketika kita belum mampu menjadi orang baik, setidaknya jangan membenci orang-orang baik. Justeru bertemanlah dengan mereka, karena berteman dengan orang baik insyaallah akan memberi kita banyak kebaikan."

Riszky Adhini Rachmi - Alumna LISFA angkatan 2008.

Nb: Terimakasih LISFA! Semoga semakin eksis dan istiqomah menebar kebaikan. Love you cause Allah ikhwah fillah! Salam ceria dan bersahabat. :)

Rabu, 25 Mei 2016

Menikah to Jannah

Pernikahan ini memang tak sempurna. Kamilah yang harus berjuang bersama untuk menyempurnakannya. Walau memang tidak akan pernah benar-benar sempurna. Bukan berarti ini menjadi sia-sia.

Sendirian memungkinkan kami untuk melakukan lebih banyak hal sesuka hati. Namun berdua membuka kesempatan untuk melakukan hal yang lebih besar dan berarti. Membangun keluarga islami, mendidik generasi rabbani, itulah cita-cita kami. Insyaallah, semoga Allah memberkahi.

(dhini iffansyah)

Kamis, 14 April 2016

Sahabat Alya

"Ada apa dengan wajahmu pagi ini Alya? Mengapa nampak mendung disaat cuaca di luar begitu cerah?"

Alya yang tengah menatap dirinya sendiri di cermin hanya terdiam menanggapi pertanyaan Ayla, teman bayangannya.

"Hei! Jangan diam saja. Ayo ceritakan padaku." Ujar Ayla memaksa.

"Bukankah seharusnya kau sudah tahu?" Alya menjawab dengan dingin.

"Tentu aku tahu. Aku juga tahu kalau semalaman kau tidak bisa tidur karena masalah itu."

"Lalu untuk apalagi kau bertanya Ayla? Apa sekarang kau mau ikut-ikutan berbasa-basi seperti mereka?"

"Tentu saja tidak. Aku bertanya agar kau bisa mulai bercerita. Karena itulah yang kau butuhkan sekarang."

Mendengar itu Alya seketika menitikan air mata. Entah sejak kapan ia mulai "bersahabat" dengan Ayla, yang jelas itu sudah sangat lama. Alya yang dari kecil selalu merasa kesepian dan diabaikan, hanya bisa mengandalkan Ayla untuk mendengarkan keluh kesahnya. Selama ini Ayla yang selalu ada untuknya.

"Bukankah terlalu awal untuk menangis? Tapi sudahlah, aku tahu itu akan membuat perasaanmu lebih baik. Iya kan?"

"Kali ini tidak..."

"Benarkah?"

"Iya. Rasanya aku ingin muntah. Aku muak dengan sandiwara keluarga bahagia ini. Aku hanya pura-pura bahagia sama seperti mereka."

"Ku kira selama ini mereka hanya sibuk. Apa kau mau mengatakan kalau kesibukan itu juga pura-pura?"

"Bukan tentang kesibukannya, tapi tentang cara mereka memanfaatkan semua itu untuk menyisihkanku. Sebab mereka memang tidak peduli apalagi menyayangiku. Mereka lebih menyukai kesibukan itu daripada aku."

"Tapi mereka selalu ingat hari ulang tahunmu kan Alya. Bukankah kamu selalu senang ketika merayakannya bersama mereka?"

"Iya. Setahun sekali. Hanya setahun sekali. Lalu bagaimana dengan 364 hari lainnya?"

"Setidaknya kamu mendapatkan kado mahal yang memang tidak mungkin dibeli setiap hari kan?"

Alya menggeleng. "Hal yang paling membuatku senang adalah bisa bersama mereka seperti layaknya keluarga. Setiap tahun aku hanya mengharapkan kebersamaan itu bisa terjadi lebih lama dan lebih sering."

"Aku masih beranggapan kalau mereka tidak seburuk itu. Hanya saja sikap mereka memang belum sesuai dengan harapanmu."

"Maksudmu harapanku terlalu berlebihan?"

Ayla terdiam.

"SEORANG ANAK BERHARAP DITANYA TENTANG PERASAANNYA DAN DIDENGARKAN PENDAPATNYA OLEH IBU KANDUNGNYA SENDIRI, APA ITU SUNGGUH BERLEBIHAN??!" Suara Alya terdengar lebih nyaring dan bergetar. Mukanya yang semula putih pucat sekarang berubah merah.

"Tenanglah... Apa kau tidak melihat wajahmu sangat jelek kalau sedang marah?"

Sekarang giliran Alya yang terdiam oleh teguran Ayla.

"Aku tahu harapan dan keinginanmu sangatlah sederhana. Tapi bukankah kau sudah mampu mengatasi keadaan ini selama 25 tahun? Hatimu sudah terlatih. Kau hanya perlu bertahan lebih lama lagi."

"Ayla... Apakah Tuhan memang menciptakan hati untuk terus disakiti?"

"Lebih tepatnya Tuhan ingin kita tahu nikmatnya bersabar dan memaafkan." Ujar Ayla dengan senyuman yang juga mengembang diwajah Alya.

"Terimakasih. Aku selalu bisa mempercayaimu."

"Kau tahu? Kau juga bisa mempercayai orang lain. Mulailah dengan membuka hatimu. Bertemanlah dengan orang-orang baik. Akan jauh lebih menyenangkan berbincang dengan teman-teman baru ketimbang menghabiskan waktumu disini."

"Apa kau mulai lelah mendengarkanku..?"

"Aku hanya bayangan. Aku tidak pernah merasa lelah. Datanglah padaku bila kau butuh merefleksikan diri, tapi hiduplah sebagaimana orang hidup. Hiduplah dalam kenyataan. Hadapi kenyataan itu walau sesulit apapun. Karena kesulitan itulah yang membuatmu kuat. Cukup kuat untuk menampung kebahagiaan setelahnya."

Setelah mengatakan itu secara perlahan bayangan Ayla memudar dan hilang sama sekali. Kini Alya hanya melihat bayangan dirinya di cermin. Meski sebenarnya Ayla tak pernah benar-benar pergi.

(dhini iffansyah)

Rabu, 23 Maret 2016

Khitbah (Pinangan)

Bismillah. Rindu, mohon maaf sebelumnya, apakah sekarang kamu sedang dalam keadaan dikhitbah orang lain?

Rindu tercenung setelah membaca sebuah SMS pagi ini. Sebelumnya ia tak menyangka bahwa apa yang dulu diwanti-wanti oleh teman halaqahnya benar-benar akan terjadi padanya.

Ukhti Nahda pernah bercerita pada Rindu tentang proses pernikahannya. Bagaimana pertama kali ia bisa bertemu sang calon suami lalu dilanjutkan dengan ta'aruf, khitbah dan persiapan akad nikah. Setiap proses itu memang tak selalu mudah. Namun ada satu poin penting yang disampaikan ukhti Nahda waktu itu, yakni saat proses menuju akad nikah. Walaupun saat itu restu sudah didapatkan dan tanggal pun telah ditetapkan, bukan berarti jalan selanjutnya akan menjadi bebas hambatan. Pada kenyataannya ujian pada masa itu melebihi proses-proses sebelumnya. Sebab kali ini yang diuji adalah kemantapan hati.

Ukhti Nahda kemudian memaparkan kisah mengenai orang dari "masa lalu" hingga orang baru yang seperti tiba-tiba saja bermunculan. Bahkan bisa saja salah satu diantara mereka adalah seseorang yang sebenarnya telah lama diharapkan. Lantas bagaimana? Tidak bisa menerima namun juga berat untuk menolak. Dan itulah ujian akhir sesungguhnya menuju janji suci pernikahan.

Sebagai muslimah kita tidak boleh terombang-ambing dalam perasaan. Tegaslah pada diri sendiri dan siapapun yang mencoba goyahkan iman. Ingatlah, ikatan khitbah bukanlah ikatan sembarangan yang seenaknya bisa diputuskan. Disana ada komitmen yang harus diperjuangkan dan ukhuwah yang wajib diselamatkan. 

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu; bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang lelaki (muslim) tidak boleh meminang (wanita) yang telah dipinang lelaki (muslim) lain, sampai lelaki pertama membatalkan pinangannya atau dia mengizinkan lelaki kedua (untuk meminang si wanita).”

*Hikmah syariat ini adalah menihilkan permusuhan dan kemarahan yang bisa menyebabkan satu pihak menganggap dirinya suci dan mencela pihak lain. Padahal menganggap suci diri sendiri adalah tindakan tercela. Ibnu ‘Abidin (yang merupakan salah seorang ulama fikih Mazhab Hanafi) mengatakan bahwa sebuah pinangan yang menimpali pinangan lain merupakan bentuk ketidakramahan dan pengkhianatan.

Rindu menghela nafas panjang. Tentu ia tak ingin menjadi pengkhianat yang merupakan salah satu ciri dari orang munafik. Alhamdulillah Allah masih menjaganya melalui ilmu dan nasehat. Setelah menata hati dan pikiran, ia pun membalas SMS itu..

Iya sudah. Tolong jangan menghubungi saya lagi ya. Terimakasih.

Begitulah akhirnya. Singkat dan jelas. Tanpa perlu keterangan atau basa-basi lainnya. Sebab jodoh selalu datang tepat pada waktunya. Jika terlambat maka bukan jodoh namanya. Itu saja.

(dhini iffansyah)

*Sumber: https://muslimah.or.id/4784-menimpali-pinangan-lelaki-lain.html

Selasa, 15 Maret 2016

Note To Jombloers

Duhai jomblo beriman...

Menikah itu memang bukan lomba lari. Dimana yang lebih dulu akan menjadi pemenang sedang yang lain harus menerima kekalahan.

Namun menikah itu adalah sunnah. Dan seperti yang kau tahu bahwa dalam hal beribadah atau perkara ma'ruf apapun itu, kita diperintahkan untuk senantiasa ber-fastabiqul khairat.

Jadi jangan terlena dengan pikiran masih memantaskan diri. Sebab hidup itu memang sebuah proses tanpa henti. Setelah menikah pun kita harus tetap berbenah diri.

Sabar bukan berarti diam dan pasrah. Sabar dalam penantian berarti berdoa dengan istiqomah, berikhtiar tanpa lelah, dan bertawakkal hanya kepada Allah Yang Maha Pemurah.

Jadi luruskanlah niatmu lalu jemputlah cinta dengan cara yang dicintai-Nya.

(dhini iffansyah)

Selasa, 08 Maret 2016

Cinta Berjarak

Rasanya sakit dan ingin tak mempercayai. Namun memang itulah yang terjadi.

Apa bagusnya dari sikapmu itu?
Apa untungnya bagimu?
Bahagiakah kau setelah melukaiku?

Aku tidak takut dengan ancamanmu, yang aku sesalkan adalah mengapa kau harus mengancamku?

Aku bukan boneka yang tak punya hati dan logika.

Aku sudah dewasa dan berhak memilih jalan yang ku suka.

Aku tahu kau telah berjasa. Aku tak akan mengabaikannya. Tapi bukan berarti kau bebas menentukan semua.

Kini jarak yang ada semakin terbentang jauh diantara kita.

Entah sampai kapan kau baru menyadari. Kerasnya hati dapat mengubah cinta menjadi benci.

(dhini iffansyah)

Rabu, 17 Februari 2016

Calm & Trust

Apalagi sekarang? Permasalahan selalu datang tak kenal waktu, tak peduli apakah aku siap atau tidak.

Belakangan sibuk mencari cara untuk meyakinkan orang lain, namun kini justeru hatiku sendiri yang mulai mempertanyakan.

Apakah aku mulai lelah? Entahlah...

Seharusnya aku sadar bahwa sesuatu yang indah tak diraih dengan mudah.

Tapi...

Tanpa dukungan orang-orang yang ku cintai, semua itu jadi tak berarti.

Mungkin aku belum lelah. Namun terlalu serakah.

Aku menginginkan semua, tanpa rela mengorbankan apa-apa. Aku tak ingin melepaskan, walau hanya salah satunya.

Aku ingin setiap orang hidup berbahagia selama-lamanya.

Ah, bukankah itu hanyalah angan-angan belaka? Sebab hidup di dunia bukan melulu rasa bahagia melainkan juga harus siap menanggung derita.

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun” .(QS.Al-Baqarah:155-156).

Maka bersikap tenanglah...

Berikan kepercayaanmu pada Tuhan karena kesabaran itu tak berbuah kecuali yang manis.

(dhini iffansyah)

Selasa, 09 Februari 2016

Belenggu

Adakah seseorang di dunia ini yang peduli akan hatiku?
Bila kau pun menolak untuk itu.

Berapa lama lagi aku harus bertahan berjuang sendirian?
Sungguh ini tak semudah yang kau bayangkan.

Tahukah kau tiap senyumku untuk membiaskan luka?
Tangisku tumpah kala malam menyapa.

Sadarkah kau bahwa aku bukan wanita perkasa?
Aku hanya menguatkan diri dengan mengais keimanan yang tersisa.

Lalu dimanakah letak kasih sayangmu?
Ku harap belum terkubur di masa lalu.

Bukankah dulu cintamu yang telah membesarkanku?
Maka sekali lagi biarkanlah aku bahagia dengan restumu.

(dhini iffansyah)

Rabu, 20 Januari 2016

Curahan Hati Rindu

"Wid, kamu lebih suka gitaris atau penulis?" Rindu bertanya sambil terus memotong kecil-kecil chicken steak dihadapannya.

"Hah?" Widya yang tengah asyik menyeruput avocado float-nya cukup kaget dengan pertanyaan Rindu yang tiba-tiba.

Weekend ini seperti biasa mereka berdua menyempatkan untuk bertemu dan menghabiskan waktu bersama disela-sela kesibukan perkuliahan.

Dua cewek yang akrab sejak duduk di bangku SMP ini memang sudah sangat dekat bahkan sudah seperti saudara kandung. Meskipun karakter mereka jauh berbeda, Rindu yang feminin merasa nyaman dengan sosok Widya yang agak tomboy dan apa adanya.

Kadang Widya yang datang ke kosan Rindu, atau sebaliknya. Tapi kali ini mereka memutuskan untuk mencoba tempat nongkrong yang katanya lumayan cozy. Karena terbilang masih baru alhasil banyak orang yang datang kesana. Untungnya Rindu dan Widya masih sempat mendapatkan kursi yang diletakan di depan resto.

"Kamu lebih suka gitaris atau penulis?" Rindu mengulangi pertanyaannya dan kali ini sambil menatap Widya dengan lekat.

"Eeeng maksud pertanyaannya apa nih?" Widya balik bertanya sambil membalas tatapan Rindu dengan curiga.

"Engga ada maksud apa-apa. Iseng aja tanya. Jawab aja apa susahnya sih?!" Rindu memanyunkan bibirnya pura-pura ngambek.

"Iya..iya.... Kayaknya sih lebih suka penulis." Jawab Widya seadanya sambil mengaduk-aduk minumannya dengan santai.

"Kenapa?"

"Ya engga apa-apa. Iseng aja jawab gitu." Widya membalas kata-kata sahabatnya dengan raut wajah usil.

"Iiih nyebelin! Orang serius juga tanyanya." Kali ini Rindu benar-benar sewot dengan respon Widya. Selembar tisu yang diletakan rapi disamping piringnya pun melayang ke wajah manis sahabatnya.

"Hehehehe.... Ampun, just kidding kali sis." Widya semakin tertawa renyah karena berhasil memancing emosi Rindu.

"Lagian sejak kapan sih kamu jadi plin-plan gini? Tadi katanya iseng terus sekarang serius. Jadi yang bener yang mana?"

"Yaa... Iseng... tapi serius juga..." Rindu mendadak jadi salah tingkah di depan Widya.

"Haduh Riiin...! Kamu itu engga bakat bohong. Sudahlah terus terang aja. Kamu pasti lagi galau kan?"

"Engga kok... Ngapain juga ngegalauin yang belum jelas."

"Nah! Ketahuan kan!"

"Apanya?"

"Ya itu tadi. Pasti sekarang kamu lagi dideketin sama cowok yang engga jelas." Widya menebak dengan pede.

"Engga gitu Widya. Kamu kok bisa cepet banget sih ngambil kesimpulan?" Rindu menggelengkan kepala dengan heran.

"Kalau bukan cowoknya yang engga jelas...... berarti kamunya dong?!"

Rindu terdiam mendengar tudingan Widya yang semakin membuatnya yakin.

"Kamu jadi di ta'aruf-in sama guru ngaji kamu itu? Terus kabar cowok yang dikenalin sama kakak kamu kemarin gimana?" Widya bertanya penuh selidik.

Melihat ekspresi Rindu yang gelisah, akhirnya ia bisa memahami situasinya. Dan sekarang ia berpikir beberapa saat sebelum angkat bicara.

"Gitaris atau penulis ya? Menurutku better penulis lah. Penulis itu kan biasanya smart, romantis dan setia." Ujar Widya berteori.

"Memangnya gitaris engga?"

"Mungkin ada... tapi jarang. Kamu lihat aja tuh temen-temen SMA kita yang dulu gitaris band. Pada malas belajar dan sering gonta-ganti pacar kan?"

"Kayak si Bayu?" Rindu buru-buru menutup mulutnya. Ia keceplosan menyebut nama keramat itu.

"Biasa aja keleees. Aku sudah lama move on dari dia. Ngapain juga aku mikirin tukang selingkuh?"

Rindu tersenyum lega. Sebelumnya Widya selalu marah kalau mendengar nama Bayu disebut.

Sebenarnya Widya memang sempat sangat sakit hati atas perlakuan Bayu yang kepergok selingkuh berulang kali. Namun semenjak ia suka ikut-ikutan Rindu ke pengajian, sedikit demi sedikit ia menyadari kekeliruannya dalam hal berpacaran dan membuat mata hatinya semakin terbuka.

Setelah melihat Widya baik-baik saja, Rindu pun memberanikan diri melanjutkan surveinya.

"Tapi kalau si penulis ini usianya lebih muda gimana?"

"Maksud kamu brondong??!" Widya membelalakan matanya tak percaya.

"Cuma beda beberapa tahun kok..." Ujar Rindu seolah membela diri.

"Tetep aja kan brondong." Widya bertahan dalam pendiriannya dan membuat Rindu pasrah.

"So...? What do you think?" Rindu mendesak Widya memberikan pendapatnya.

Mendapati wajah Rindu yang bertambah galau, Widya pun menghela nafas panjang.

"Rindu sayaaang. Apa yang aku pikirin itu engga penting. Kamu itu harusnya denger kata hati kamu sendiri. Karena nanti yang menjalani itu semua adalah kamu. Mau dia gitaris atau penulis, mau lebih tua atau lebih muda, itu semua tergantung kamu. Pilih aja yang sesuai sama hati kamu. Simple kan?"

"Iya... Tapi aku juga masih belum yakin Wid. Darimana coba aku bisa tahu kalau orang itu sesuai atau engga sama aku?"

"Kalau itu kamu tanya aja sama Tuhan. Kan Tuhan Maha Tahu segalanya."

"Tanya sama Tuhan...?"

"Iya Tuhan. Tuhan yang nyiptain kita itu pastinya tahu juga dong apa yang sesuai untuk kita. Jadi kamu tanya aja sama Tuhan. Apa ya tuh namanya? Rasanya aku pernah denger deh di pengajian temen-temen kamu itu."

"Istikharah?"

"Yap itu dia. Istikharah!"

"Kalau setelah istikharah ternyata sama aja gimana?"

"Heem.. Kalau setelah ISTIKHARAH sama aja berarti kamu harus banyakin ISTIGHFAR Rin, biar engga galau terus-terusan."

"WIDYAAA!!!" Tanpa sadar Rindu meneriaki sahabatnya yang kini kembali cengengesan.

Sebelum mengomel lebih jauh Widya pun mencomot kentang goreng miliknya lalu menyuapkannya pada Rindu.

"Peace...." Widya memasang senyum lebarnya sambil mengibar-ngibarkan tisu yang tadi dilempar Rindu padanya.

"Keep calm and trust Allah. Kamu kan yang selalu bilang kayak gitu ke aku? Jadi engga ada alasan untuk pesimis. Tuhan pasti ngasih kamu jawaban dan jalan keluar terbaik."

Rindu tertegun dengan pernyataan sahabatnya. Semua itu memang benar. Tak seharusnya kita ragu setelah mengaku beriman.

"Masyaallah Widya.. Makasih ya sudah ngingatin aku."

"With pleasure sis."

"Tapi darimana kamu belajar ngomong bijak kayak gitu?"

"Dari seorang sahabat yang sedang merindukan belahan jiwanya. Semoga aja kerinduan dia segera terobati."

"AAMIIN." Pekik Rindu dan Widya bersamaan.

Dua sejoli itu akhirnya tertawa bahagia dan melanjutkan menikmati sore mereka yang teduh di bawah langit kota Banjarbaru.

Cerpen by dhini iffansyah

Sabtu, 02 Januari 2016

Diantara Kemungkinan, Keyakinan dan Harapan.

Waktunya mungkin akan segera tiba, tapi...
Entah harus bagaimana lagi untuk bisa membangun keyakinan itu.

Ragu masih membayangiku.

Rasa khawatir yang berkembang menjadi rasa takut akan ketidakpastian masa depan.

Ya Tuhan...

Aku tak tahu, sedang Engkau Maha Tahu. Jadi beritahulah aku dengan cara-Mu. Yakni cara terindah yang menentramkanku.

Jangan sampai diri ini terombang-ambing dalam prasangka yang tak menentu.

Jangan biarkan hati ini berhasrat akan sesuatu yang tak ditakdirkan untukku.

Tuntunlah aku hanya ke jalan surga-Mu. Meski itu adalah jalan terjal dan berliku.

(dhini iffansyah)