Minggu, 22 Maret 2015

Diary Riry

Sabtu, 21 Maret 2015

Dear diary, pertanyaan itu hadir lagi...

"Riry, kamu sudah punya calon belum?"

Ah, pertanyaan semacam ini mungkin biasa diterima oleh para jomblo di usiaku sekarang.

Meski demikian, tetap saja aku selalu bingung menjawabnya.

Bila menjawab ada, berarti aku berbohong, karena pada kenyataannya aku belum terikat pada siapapun. Namun bila menjawab belum ada, aku khawatir pertanyaan itu akan berbuntut panjang.

Seperti yang pernah terjadi dulu. Tiba-tiba saja orang itu datang ke rumah dan ingin bertemu keluargaku.

Diary... ini sudah kali keempat.

Aku sadar bahwa cepat atau lambat, aku memang harus memutuskan pilihan. Tapi aku terus saja mengulur-ulur waktu.

Biodata pribadi yang diminta oleh guru ngaji pun belum juga ku selesaikan. Padahal tentu saja itu  dimaksudkan untuk mempermudah proses ta'aruf ku nanti ke jenjang pernikahan.

Diary, pertanyaan itu sekarang semakin mengganggu.

Sebab kali ini diajukan oleh Hanif. Seorang teman lama yang baru saja menyelesaikan program magisternya. Aku tak tahu banyak tentangnya, namun insyaallah dia pribadi yang shalih.

Diary, bukankah seharusnya aku bersyukur sekarang? Hanif adalah sosok yang cukup sempurna untuk menjadi pendamping hidup.Tapi nyatanya hatiku masih saja bimbang. Apa karena aku masih mengharapkan Fadhil?

Padahal sampai sekarang aku bahkan tidak tahu kabarnya. Semenjak lulus kuliah, aku tak pernah bertemu lagi dengan Fadhil.

Sepertinya dia masih saja berkutat dengan urusan skripsi. Entah karena kesulitan, sengaja menunda atau memang sudah tak peduli dengan studinya.

Diantara kami memang tak ada ikatan apapun. Hanya saja... sejak lama aku sudah menaruh simpati padanya.

Keterlibatan kami dalam organisasi kampus yang sama membuatku sedikit banyak mengenalnya. Fadhil adalah sosok aktivis yang bersemangat dan berani menentang arus.

Diary, apa aku terlalu naif? Mungkin saja Fadhil sudah memiliki rencana menikah dengan orang lain setelah lulus kuliah. Sampai kapan aku mau menunggu sesuatu yang tak pasti? Sedangkan kini Hanif datang menawarkan masa depan yang baik.

Tapi...

Apa benar aku sanggup menjalani kehidupan rumah tangga bersama Hanif? Meski awalnya tanpa rasa apa-apa.

Akankah waktu bisa menumbuhkan cinta? Bila ternyata tidak, apa aku tetap bisa bahagia dengannya?

Diary, tak disangka keputusan untuk menikah ini akan menjadi sangat sulit.

Aku tak ingin salah memutuskan. Aku ingin bila pernikahan itu terjadi, maka itu adalah pernikahan sekali seumur hidup dan menjadi pernikahan yang ku syukuri hingga maut menjemput.

Heem... tak terasa sekarang sudah hampir jam 2 malam. Sebaiknya aku sholat istikharah saja dulu. Lebih baik ku serahkan urusan ini pada Sang Pemilik Kehidupan. Aku yakin, Allah Maha Tahu, jodoh yang terbaik untukku.

Selamat malam diary :)
Salam sayang, Riry.

**cerpen by dhini iffansyah**

Minggu, 15 Maret 2015

Mimpi Menulis

Sejak lama saya memang suka menulis. Tapi tak pernah berpikir kalau saya benar-benar "bisa" menulis. Satu hal yang saya tahu, saya senang berbagi lewat tulisan.

Biasanya saya berbagi kalimat motivasi, cerita yang (menurut saya) menarik, pengalaman hidup inspiratif, kutipan ayat maupun hadist, taujih dari para ustadz maupun ustadzah dan lain sebagainya.

Selain sebagai media sharing, bagi saya menulis juga merupakan salah satu bentuk katarsis. :)

Yap, sebagai "penulis" yang moody.. entah mengapa ketika mood sedang jelek itulah saat dimana banyak kata-kata bisa ditumpahkan lewat tulisan. Alhamdulillah, setelah menulis saya pun biasanya merasa lebih baik. :D

Perasaan sedih, kecewa, marah, sakit hati...

Hal-hal yang secara langsung tidak dapat saya ekspresikan dengan gamblang, bisa saya terjemahkan lewat rangkaian huruf sederhana. Ajaib.

Suatu saat, saya pun berharap bisa serius berkarya dibidang kepenulisan, walau mungkin hanya melahirkan satu buah buku. Ya, satu buku sebagai jejak yang bisa saya tinggalkan di muka bumi ini. Insyaallah :)

- dhini iffansyah