Rabu, 23 Desember 2015

Ragu

Maaf atas diamku.
Aku hanya tak ingin diperbudak hawa nafsu.
Tak ingin bicara tanpa dipikir dulu.

Aku tak yakin dengan apa yang seharusnya dan sebaiknya ku lakukan.
Aku bahkan tak yakin dengan apa yang ku rasakan.
Aku sungguh berharap kelak tak akan ada penyesalan.

Kini semakin banyak pertanyaan demi pertanyaan yang menuntut jawaban.

Bagaimanapun, aku akan berusaha menerimanya, bahkan bila kenyataan tak sesuai harapan.

(dhini iffansyah)

Selasa, 22 Desember 2015

Sadarlah Wahai Hati

Lelah sudah ku melihatmu tak menentu. Kadang dekat, kadang begitu jauh dari Rabb-mu.

Sementara detik yang dimiliki setiap saat bisa berhenti.
Mengantarkanmu pada satu janji yang tak mungkin diingkari. Mati.

Siapkah kau untuk itu?
Bila kain putih membungkus jasadmu...

Walau harta dan tahta menjulang tinggi. Apalah arti bila amal sholeh tak menyertai?

Tanpa bekal kau akan sengsara. Hanya siksa yang menantimu disana.

Rugi.. sungguh sangat merugi.
Tangis penyesalan tak lantas mengantarkanmu kembali.

Waktu terbuang dengan sia-sia. Nasehat dan peringatan pun diabaikan begitu saja.

Di akhirat tentu kau akan menyadari. Bahwa dunia tak berarti bila iman lepas dihati.

(dhini iffansyah)

Bunda

Suatu hari nanti aku ingin dipanggil bunda.

Bukan hanya karena aku telah mengandung dan melahirkan seorang anak. Melainkan karena aku pula yang mengasuh dan mendidiknya di rumah.

Aku tidak ingin meninggalkan atau menitipkannya dengan dalih bekerja untuk memenuhi kebutuhannya.

Aku tidak ingin orangtuaku apalagi orang lain yang mengambil alih hak dan kewajibanku atas dirinya.

Mengapa aku harus bekerja di luar rumah kemudian menggunakan uangnya untuk membayar mereka yang telah memiliki momen-momen berharga bersama dengan buah hatiku tercinta?

Mengapa aku harus melewatkan kesempatan melihat perkembangannya dan hanya mendengar cerita di waktu yang tersisa?

Mengapa aku harus merelakan posisi menjadi yang pertama tahu atas pencapaian dan keberhasilannya?

Mendengar kata pertamanya..
Lalu menyaksikan langkah pertamanya..

Dan hal-hal lain yang tak ternilai dangan harta.

Namun bila kelak aku terpaksa melakukannya, sungguh aku akan merasa begitu rugi dan kecewa.

Selamat Hari Bunda
by. dhini iffansyah

Jumat, 18 Desember 2015

Rindu

Tahun demi tahun telah berlalu.
Air mata rindu masih menghiasi malamku.
Kapankah kita akan kembali bertemu?

Aku ingin berada didekatmu,
memelukmu,
dan mendengar suaramu.

Tuhan...
Ampunilah segala dosanya.
Kasihi dan sayangilah dia.
Pertemukanlah kami di surga.

(dhini iffansyah)

Kamis, 17 Desember 2015

Cinta Pertamaku

Tentu saja dia adalah laki-laki yang istimewa.

Dia humoris dan memiliki senyuman yang begitu manis. Selain itu dia juga hobi dan jago berolahraga. Baginya hampir tiada hari tanpa olahraga.

Sifatnya yang menyenangkan dan tak perhitungan membuatnya memiliki banyak teman. Sampai-sampai aku merasa cemburu, karena seringnya mereka bertemu.

Ditambah lagi dengan berbagai kesibukan dan kebiasaannya berpergian, membuat kebersamaan kami menjadi semakin berkurang.

Meski begitu, dia tetap menyediakan waktu khusus untukku. Biasanya dia akan mengajakku makan malam atau sekedar jalan-jalan, kemudian membelikan sesuatu yang kuinginkan.

Dia bahkan bersedia menemaniku ke bioskop untuk menonton film yang ku suka, walau akhirnya dia hanya akan tertidur disana. Tapi jangan dikira dia tidak bisa romantis, karena dia begitu pandai menyanyikan lagu-lagu puitis.

Keistimewaan lain yang ada pada dirinya adalah tentang ketegasan dan kelembutan yang menjadi satu.

Bila aku melakukan kesalahan,  maka dia akan berterus terang mengingatkan. Namun setelah itu,  air matanya pun tak kuasa untuk ditahan.

Begitulah dia. Seorang laki-laki dengan hati yang setia dan perasaan lebih halus dari yang kalian kira. Itulah alasan mengapa aku sangat mencintainya.

Hingga saat aku sendiri yang memilih untuk pergi.

Ku putuskan merantau demi meneruskan studi ke perguruan tinggi. Dia pun sama sekali tak menghalangi. Justeru menjadi orang yang paling memahami dan hanya berpesan agar aku selalu menjaga kehormatan diri.

Sampai pada hari perpisahan kami.

Di Bandara Soekarno Hatta, dia melepaskanku menggapai cita.

Tak ku sangka itulah akhir cerita kami selamanya.

Dia tak menungguku kembali membawa gelar S.Psi.

Dia pergi...

Laki-laki yang kucintai benar-benar tak bersamaku lagi.

Tapi hingga kini, senyum dan kehangatan hatinya masih membekas di hati.

Dialah cinta pertamaku.

Papa no.1 di dunia.

(Mengenang 6 tahun kepergian papa tercinta, 17 Desember 2009 - 17 Desember 2015)

by. dhini iffansyah

Kamis, 03 Desember 2015

Bukan Cinta Juliet

Cinta sejati bukanlah seperti cinta Romeo dan Juliet, bukan pula seperti cinta Rama dan Shinta.

Cinta sejati pastilah cinta karena Allah.

Sebab hanya Allah yang mampu menyatukan hati dalam naungan kesalamatan melalui petunjuk, pertolongan dan perlindungan dariNya. Sehingga ikatan diantara mereka tak terbatas oleh dunia melainkan abadi sampai ke surga.

"(yaitu) surga-surga 'Adn, mereka masuk ke dalamnya BERSAMA DENGAN ORANG YANG SALEH DARI NENEK MOYANGNYA, PASANGAN-PASANGANNYA DAN ANAK CUCUNYA, sedangkan para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu."
(QS. Ar-Ra'd: 23)

Semoga kita termasuk kedalam golongan orang-orang saleh yang saling mencintai karena Allah. Aamiin.

- dhini iffansyah

Rabu, 02 Desember 2015

A Note

"Sometimes people with the worst past, creates the best future." (Umar Ibn Khattab)

Sebab aku tidak seperti Abu Bakar Ash Shiddiq yang sebelum mengenal Islam pun merupakan orang baik dan terhindar dari segala bentuk maksiat. Maka aku ingin meneladani Umar bin Khattab yang membalas segala kejahiliyahan dengan bersungguh-sungguh melakukan ketaatan.

[Note to myself]

Minggu, 29 November 2015

Alhamdulillah, aku punya Allah.

Begitu tenang Dia membimbingku menuju jalan keluar yang ku pinta..

Dan tak pernah sedikitpun Dia lelah mendengarkan resah yang ku rasa..

Alhamdulillah, aku punya Allah..
yang selalu punya cara dan berkuasa membantu setiap hamba-Nya.

(dhini iffansyah)

Jumat, 27 November 2015

Re-Reading = Re-Hurting

"You can't start a new chapter of your life, if you keep re-reading the last one."

Seharusnya memang seperti itu. Abaikan saja yang telah lalu,  berfokuslah pada apa yang kita jalani saat ini, sambil terus mempersiapkan masa depan. Namun tetap saja rasanya menyakitkan.

Bukan maksudku mengungkit masa lalu,  tapi semua itu benar-benar menganggu. Sebuah cerita yang mungkin selamanya tak akan pernah bisa terlupa.

Lalu aku harus bagaimana?

Berpura-pura bahwa semua baik-baik saja?

Padahal hatiku tak mungkin sanggup menanggung curiga yang begitu lama.

Aku ingin bisa percaya. Tapi sulit rasanya...

Karena itu maafkan.

(dhini iffansyah)

Kamis, 26 November 2015

Ibadah? Malas ah!

Pernah mengalami malas beribadah? Misalnya sholat, zikir atau tilawah?

Mungkin juga ada rasa bosan karena ibadah itu terus diulang-ulang dalam sehari dan terjadi setiap hari.

Akhirnya ibadah yang dilakukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Dikerjakan seadanya bahkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Satu tips untuk mengatasinya adalah...

"SADARI bahwa setiap IBADAH ITU bukanlah sekedar kewajiban dari Allah azza wa jalla, melainkan KEBUTUHAN POKOK SETIAP MANUSIA."

Sebagai seorang hamba kita memang wajib taat dan menyembah kepada Allah. Namun setiap amal ibadah itu sebenarnya untuk kebaikan kita sendiri, sedangkan Allah sama sekali tidak memerlukannya.

Kita beribadah atau tidak, Allah tetaplah Tuhan Yang Maha Segalanya, sikap ingkar kita tak sedikitpun akan mempengaruhi Kekuasaan-Nya.

Kelak ketika ruh telah berpisah dari jasad, amal ibadah itulah yang akan menjadi bekal kita di akhirat.

Seberapa banyak dan seberapa baik kualitas bekal kita disana?
Jawabannya tergantung apa yang kita perbuat saat ini.

Bila kita ingin menghadap Allah dengan membawa sebaik-baik bekal, maka lakukanlah setiap ibadah itu dengan sebaik-baik pula (terutama ibadah sholat, karena amal inilah yang paling pertama dihisab sebelum amal-amal lainnya).

Setelah kita tuntas menunaikan hak-hak Allah, barulah kita pantas berharap kehidupan yang barokah, kematian yang husnul khotimah, hingga sebuah istana di surga-Nya yang terindah.

Jangan sekali-kali memimpikan semua itu bila zikir saja sering terlupakan, tilawah dikesampingkan, bahkan shalat pun sengaja dilalaikan (ditunda-tunda atau tidak dikerjakan sama sekali).

Ingat, bukan Allah yang rugi melainkan diri kita sendiri.

Padahal setiap orang itu akan masuk surga, kecuali yang enggan. Yaitu orang-orang yang enggan mentaati syariat Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah saw.

Wallahu'alam. Semoga bermanfaat.

(dhini iffansyah)

Rabu, 25 November 2015

Cinta Sederhana

Aku ingin cinta yang sederhana,
bukan cinta yang penuh drama.

Tak perlu ucapan manis bertabur bunga,
melainkan kesungguhan untuk bisa bersama.

Aku ingin cinta yang sederhana,
bukan cinta yang penuh drama.

Tak meminta untuk menunggu lama,
atau bersabar hingga waktunya tiba.

Siap membuktikan cinta karena-Nya,
dalam mahligai rumah tangga yang mulia.

Aku ingin cinta yang sederhana,
bukan cinta yang penuh drama.

Bahagia menjadi diriku apa adanya,
bukan dengan berpura-pura sempurna.

Dengan kisah yang menentramkan jiwa,
meski tak bergelimang harta.

Aku ingin cinta yang sederhana,
bukan cinta yang penuh drama.

Terbebas dari rasa curiga,
atau sikap yang tak setia.

Saling menghargai walau berbeda,
dan senantiasa berbagi dikala suka maupun duka.

Aku hanya ingin cinta yang sederhana...

(dhini iffansyah)

Senin, 23 November 2015

"Sesuatu yang dikubur itu tidak selalu mati. Adakalanya ia menemukan cara untuk tumbuh menjadi sesuatu yang lebih indah."

Kamis, 19 November 2015

Puisi Hati

Betapa lemah dan rapuhnya hati tanpa iman yang menghiasinya.

Berlebihan dalam kebahagiaan dan kesedihan yang menimpanya. Padahal semua itu hanyalah takdir Tuhan yang ditetapkan untuknya.

Tiada kekuatan melainkan atas izinNya. Tiada kesempitan yang tak sanggup dilapangkan olehNya.

Duhai hati janganlah kau terlena akan urusan dunia. Suka dukamu disini hanyalah sementara.

(dhini iffansyah)

Senin, 16 November 2015

Al Baqarah: 216

“Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”


Minggu, 15 November 2015

Dying Heart

Tuhan...
Aku tahu KAU Maha Tahu...
Aku tahu KAU tak akan keliru...
Aku tahu KAU telah tetapkan yang terbaik untuk ku.

Tapi tolong izinkanlah aku untuk bersedih kali ini...
Izinkan aku untuk menangis dan mengadu dalam dekap kasih sayang MU.

Maafkanlah aku yang terburu-buru dalam berprasangka...
Maafkanlah pula diriku yang tak sengaja berharap pada sesama.

Tuhan...
Sungguh, luka ini karena kesalahan ku sendiri...
Tapi tolong bantu aku untuk menyembuhkannya...
Karena aku hampir tak berdaya menahan sakitnya.

(dhini iffansyah)

Kamis, 05 November 2015

Broken

"BANGS*T!!" Kata makian itu meluncur dari lisan ibu. Sungguh diluar dugaan, Kak Ray pun merasa begitu terluka. Ini kali pertama ibu berkata kasar padanya.

Ira menangis di dalam kamarnya. Sementara Kak Nina tak tahu berada dimana. Belakangan dia semakin jarang di rumah. Lebih suka menghabiskan waktu bersama teman-teman kantornya. Entah sampai kapan neraka ini akan berkobar di dalam rumah yang semestinya menjadi surga. Api asmara antara ibu dengan suami barunya benar-benar membakar keharmonisan keluarga Ira.

Sepuluh menit berlalu, akhirnya pertengkaran itu pun selesai. Terdengar suara pintu depan yang dibanting dengan kasar, disusul dengan suara mobil yang melaju meninggalkan rumah.

Tok.. tok.. tok. Suara pintu kamar Ira diketuk dengan perlahan.

"Masuk kak..." Ira mempersilahkan dan buru-buru menghapus air matanya.

"Ira, makan dulu yuk? Seharian ini kamu belum makan apa-apa kan?" Kak Ray mendekati Ira yang tak bergeming di atas kasur. Ia lalu duduk disamping Ira, menatapnya dengan ekspresi seperti tak terjadi apa-apa.

"Aku enggak lapar kok kak. Ibu kemana?" Ira bertanya dengan suara sedikit bergetar.

Ray menghela nafas. "Ibu sudah pulang."

"Pulang kemana kak? Rumah ibu kan disini?!" Ujar Ira heran.

"Enggak lagi. Sekarang ibu sudah punya rumah baru dengan suaminya."

Mendengar itu air mata Ira langsung mengalir begitu saja. Hatinya terasa ditusuk-tusuk. Belum usai dukanya kehilangan bapak. Mengapa sekarang ibu juga harus dirampas darinya?

Kak Ray duduk disamping Ira dan mengusap air mata adiknya dengan lembut. "Sudahlah Ra, apa kamu enggak capek nangis terus? Ibu aja sudah enggak peduli sama kita. Dia kesini hanya demi uang."

"Apa kak?!" Ira kaget. Ia berharap hanya salah mendengar. Tidak mungkin ibu sampai seperti itu. Walau sekarang ibu sudah menikah lagi, namun sampai kapanpun mereka akan selalu menjadi anak ibu.

"Ibu...." Kak Ray tampak ragu-ragu ingin menjelaskan.

"Ibu kenapa kak? Kakak kok bisa ngomong kayak gitu soal ibu?"

"Tadi ibu minta buku tabungan dan surat berharga lainnya."

"Tapi buat apa kak? Selama ini kan selalu kakak yang simpan. Memangnya ibu berencana mau jual aset keluarga kita? Apa ibu lagi perlu banyak uang?." Ira tetap berupaya untuk berprasangka baik pada ibunya. Barangkali ada masalah yang ia tidak tahu.

"Entahlah Ra. Dua hari yang lalu ibu sempat minta 2 juta ke kakak. Dan barusan ibu minta uang lagi. Pas kakak tanya baik-baik, ibu malah marah."

"Jadi tadi kakak menolak permintaan ibu?" Tanya Ira dengan nada suara yang menyayangkan.

"MEMANGNYA HARUS GIMANA LAGI RA? KALAU KAKAK TURUTIN TERUS MAUNYA IBU, SEMUA WARISAN BAPAK BISA HABIS DALAM SEKEJAP. MEMANGNYA KAMU MAU HIDUP MELARAT? SAMPAI MATI PUN KAKAK ENGGAK AKAN MEMBIARKAN HIDUP KAMU SAMA NINA JADI MENDERITA. KALIAN BERDUA SEKARANG JADI TANGGUNGJAWAB KAKAK." Suara Kak Ray mendadak lebih nyaring dari sebelumnya dan ekspresinya pun berubah marah.

Ira menyadari bahwa ia telah menyinggung perasaan Kak Ray. Ia berusaha menggenggam tangan kakaknya namun segera ditepis oleh Ray.

"Maaf kak, Ira cuma... selama ini kita selalu nurut apa kata ibu, terutama...." Ira mengigit bibirnya. Kali ini ia sangat berhati-hati dengan ucapannya. Ia tidak ingin membuat kakaknya semakin salah paham.

"Sudahlah." Ray bicara sembari berlalu dari kamar adiknya. Ray tahu dan sadar betul bahwa ia dan adik-adiknya selama ini memang selalu menjadi anak yang penurut. Terutama dirinya. Seingatnya ia tak pernah sekalipun membantah perkataan maupun keinginan orangtuanya. Namun kali ini berbeda. Sikap berbakti yang selama ini ia jaga seolah menjadi sia-sia.

Cerpen by dhini iffansyah

Senin, 02 November 2015

Dilema

Aku tahu ada yang salah.
Aku tahu itu, tapi tak tahu apa, karena itu aku marah.

Aku tahu tak ada gunanya marah.
Aku tahu itu, tapi aku mulai lelah,
karena aku tak mengerti walau coba tuk pahami.

Aku ingin menjelaskan.
Justeru membuat semakin terasingkan, karena akhirnya tetap tak sejalan.

Aku ingin berlari.
Sendiri berteman sepi, tapi rindu selalu menghampiri. Haruskah ku kembali?

(dhini iffansyah)

Minggu, 20 September 2015

Where is Love?

Dimanakah cinta berada?
Di hati?
Di akal pikiran?
Atau di setiap perbuatan?

Bukan…

Ini bukan tentang kisah romantis di antara dua insan yang saling jatuh cinta.

Ini tentang seseorang yang mulai kehilangan cinta pada dirinya.

Apa yang ia rasakan, pikirkan dan lakukan dalam kehidupannya..
tak ada yang memuaskan.

Membosankan..
menyebalkan..
tak berguna..
dan sia-sia.

Tak ada lagi cinta tersisa untuk dirinya. Lantas bagaimana?

Haruskah berubah?
Berlari mencari cinta yang terlanjur pergi.

Namun bila tak terkejar..
bila tak juga ditemukan..
Kecewa itu pasti akan semakin menjulang.

Selama ini mengira patah hati karena cinta tak terbalas itu begitu menyakitkan.

Ternyata, ketidakmampuan mencintai diri itu lebih menyedihkan.

Selama ini mengira dipandang rendah oleh orang lain itu membuat sangat tertekan.

Ternyata, rendah diri dan tak percaya diri itu lebih menghancurkan.

Ternyata…

Dalam hidup ini, musuh yang paling membahayakan adalah rasa benci pada diri sendiri.

Dia melemahkan…

Perlahan… merenggut harapan kebaikan di masa depan.

(dhini iffansyah)

Minggu, 23 Agustus 2015

Ta'aruf (Bagian 2)

Setelah satu minggu berlalu. Malam-malam panjang selalu dilewati Ira dengan sholat dan berdoa, semata memohon petunjuk dari Rabb-nya.

Hati yang semula ragu sekarang mulai meyakini. Insyaallah ikhwan itu adalah sang pendamping yang telah lama dinanti.

Kak Ray pun menghubungi si Ikhwan. Tanpa basa-basi meminta akad nikah dilangsungkan 4 bulan dari sekarang. Tak banyak yang diminta. Cukup acara sederhana yang mengundang orang terdekat dari kedua pihak keluarga.

Si Ikhwan mengiyakan. Ia berjanji akan segera datang ke rumah, bersama dengan orangtuanya untuk mengkhitbah sekaligus membicarakan persiapan akad dan walimah.

Namun.....

Entah mengapa. Meski Ira sudah menduga-duga dalam benaknya. Tapi ia berusaha untuk tetap berbaik sangka.

Sudah sebulan dari pembicaraan singkat kak Ray dan si Ikhwan via telepon. Janjinya untuk datang mengkhitbah beserta keluarga tak kunjung tiba. Pun ketika ditanya, si ikhwan hanya meminta maaf dan mulai beralasan macam-macam.

Kak Ray amat kecewa. Terlebih tak tega pada adiknya.

"Engga apa-apa kok Kak. Mungkin dia dan keluarga memang sedang sibuk. Jadi belum bisa datang kesini." Ira mencoba menghibur kak Ray yang terlihat begitu merasa bersalah.

Kak Ray tak bisa berkata apa-apa lagi, selain memandangi senyuman tabah dari bibir adiknya.

Kalau saja si Ikhwan itu yang ada di hadapan Ray sekarang, ia tak akan ragu untuk menghadiahi bogem mentah sebagai tanda terimakasih atas harapan palsunya selama ini.

Kak Nina yang melihat pemandangan yang sama selama satu bulan itu akhirnya angkat bicara. "Coba kamu hubungi teman yang dulu mengenalkan kalian. Mungkin dia tahu sesuatu."

Ira tersentak. Benar juga kata kak Nina. Mengapa tak terpikirkan olehnya? Sore itu juga ia mengirimkan pesan sambil terus berharap akan memperoleh penjelasan.

Wa'alaykumussalaam Ra. Afwan, semua yang terjadi diluar perkiraan kami. Saat ini kami masih berupaya keras agar prosesnya bisa segera dilanjutkan. Tapi sepertinya Allah punya rencana lain. Afwan. Insyaallah besok beliau akan datang untuk menjelaskan.

SMS balasan itu malah semakin membuat Ira bingung. Apa maksudnya? Apa itu berarti prosesnya tetap dilanjutkan atau tidak?

Alih-alih bertanya lagi, Ira memutuskan untuk menahan diri dan menyimpan pertanyaan itu untuk si Ikhwan. Biarlah, apa pun yang dikatakannya nanti. Insyaallah Ira sudah siap.

***

Suasana ruang tamu sore hari itu begitu canggung. Si ikhwan datang seorang diri. Sejak awal kak Ray sudah menunjukan rasa tidak sukanya. Hingga memaksa kak Nina berdehem berulang kali, untuk mengingatkan agar kak Ray bisa menjaga sikap serta menahan emosi.

"Langsung saja. Jadi bagaimana kelanjutannya? Apakah mau diteruskan atau tidak?" Kak Ray memulai pembicaraan.

Si Ikhwan menelan ludah. Perasaan campur aduk menyelimutinya. "Sebelumnya saya minta maaf bila kedatangan saya ini dinilai sangat terlambat. Saya tidak ada maksud mengulur-ulur waktu. Sejujurnya saya sudah sangat yakin dan ingin menuruskan......." Tiba-tiba kalimatnya terhenti begitu saja.

"Sebenarnya ada apa akh?" Ira akhirnya memberanikan diri untuk menanyakan hal yang amat mengusik dirinya belakangan ini.

"Orangtua..... mereka tidak setuju." Si Ikhwan tertunduk lemas usai mengatakannya. Sementara Ira, Kak Ray dan Kak Nina serentak mengernyitkan dahi.

"Bukannya dulu kamu bilang orangtua ngikut saja?!" Kak Ray yang masih ingat betul dengan keterangan si Ikhwan saat pertemuan pertama mereka, merasa sangat tidak terima.

"Iya betul. Tapi itu sebelum....." Si Ikhwan terdiam lagi.

"Sebelum apa? Apa ternyata kamu sudah dijodohkan?" Kali ini kak Nina bertanya dengan nada yang ditinggikan. Ia semakin geregetan mendengar penjelasan yang bertele-tele.

"Bukan. Bukan begitu." Si ikhwan tampak pucat. Keringat mengucur dari dahinya.

Ira yang melihat kondisi itu berbalik menjadi kasihan. "Jadi apa alasan sebenarnya?" Ujar Ira dengan tenang namun tetap tegas.

"Orangtua tahu tentang kabar ibu anti yang nikah siri..."

Mendengar itu kak Ray langsung tersandar di sofa. Kak Nina bahkan langsung berdiri dan meninggalkan ruang tamu. Hati mereka menjadi terbakar saat pernikahan siri itu disebut lagi sebagai sumber masalah.

"Aa...apa..."  Ujar Ira terbata. Sambil sekuat tenaga menahan air mata.

"Ayah tiri anti itu adalah suami dari sahabat orangtua ana. Mereka sudah kenal sejak lama. Jadi..."

"Cukup akhi. Tolong jangan dilanjutkan." Ira buru-buru memotong penjelasannya. Ia tak sanggup bila harus mendengar sekali lagi, kenyataan bahwa ibunya adalah seorang perusak rumah tangga dan perebut suami orang. Tentu tak berlebihan bila orangtua si Ikhwan tak merestui hubungan mereka. Orangtua mana yang dengan senang hati memiliki besan seperti itu?

"Insyaallah ana dan keluarga sudah bisa memahami alasan antum." Ira melanjutkan dengan suara yang tercekat.

Kak Ray menatap adiknya dengan penuh rasa iba. Kemudian segera beralih pada si Ikhwan. "Tunggu dulu. Hal ini masih bisa kita bicarakan lagi kan? Pernikahan siri ibu kami itu enggak ada kaitannya dengan Ira. Kami bahkan enggak pernah merestui hubungan mereka..."

"Sudah kak." Ira menghentikan pembelaan kak Ray sambil menggenggam erat tangannya.

"Ini bukan hal yang bisa dipaksakan. Pernikahan itu enggak cuma menyatukan dua orang, tapi juga menyatukan dua keluarga. Karena itu sekarang semuanya sudah jelas. Ana mohon maaf yang sebesar-besarnya. Antum bisa pulang sekarang."

"Enggak ukh, ana yang seharusnya minta maaf pada anti sekeluarga. Ana pamit. Assalaamu'alaykum." Si Ikhwan pergi dengan terburu-buru. Jantungnya masih terus berdegup kencang. Menerima semua kekecewaan Ira dan saudaranya. Terutama kekecewaannya pribadi. Istikharah panjang selama ini tak lantas membuat jalan cintanya menjadi mulus. Meski hati berkata iya, namun ternyata takdir masih bisa berkata tidak.

Cerpen by.dhini iffansyah

Selasa, 04 Agustus 2015

Janji Ibu

Bila ada hal yang tak pernah terbayangkan di dunia ini, mungkin itu adalah menyaksikan ibu kandungmu menikah lagi dengan laki-laki lain. Bahkan dia bukan laki-laki biasa, melainkan seorang ayah dan suami dari wanita lain !

Ya, ibuku menjadi istri kedua. Tanpa restu dari sang istri pertama dan kami sebagai anak-anaknya.

Bagai petir disiang bolong. Nyaris saja aku pingsan selepas menerima telepon dari keluarga di kampung. Seorang kerabat mengatakan, ibuku sudah menikah disana kemarin. Dihadiri oleh sanak saudara yang mendukung nikah siri itu.

Sungguh sampai hati kalian mengkhianati almarhum bapak. Sosok yang selama ini terlampau baik pada kalian... pada ibu.

Dengan jabatan dan kekayaannya semasa hidup, tentu tak sulit baginya bila ingin menikah lagi. Namun beliau memilih setia. Monogami hingga akhir hayatnya. Menjadikan ibuku yang pertama dan terakhir, wanita teristimewa yang diharapkan menjadi bidadari surga baginya.

Pupus sudah...

Bila bapak melihat ini tentu akan patah hatinya. Tangisku tak terbendung membayangkan betapa kecewanya bapak bila ia tahu tentang pilihan ibu untuk tak setia. Ibu memilih menyalahi janjinya. Janji tak menikah lagi bila kelak bapak lebih dulu tiada. Janji yang ia buat di saat-saat terakhir menjelang kematian bapak. Janji yang ia umbar pada siapa saja yang hadir di pemakaman suaminya. Janji itu palsu.

Kini ku tak tahu kemana lagi harus mencari cinta untuk ibu. Cinta yang selama ini membesarkanku dalam sekejap menghancurkan jiwaku.

Ibu...

Apa ini sungguh berarti untukmu?

Menjadi janda perusak rumah tangga orang lain. Lalu mengabaikan anak-anak mu bagai rongsok tak berarti.

Apa ini sungguh membuatmu bahagia?

Maka berbahagialah ibu di atas derita istri pertama, derita anak-anak yang broken home, dan derita almarhum mantan suamimu.

Berbahagialah ibu menjadi gunjingan para tetangga, menjadi sebab rasa malu kami memandang realita, menjadi ibu yang dimabuk cinta yang fana.

"Sudahlah Nina... "

Dalam lamunan panjangku, ternyata ada seseorang yang menghampiri dan menyapaku dengan lembut.

"...jangan terus larut dalam kesedihan. Kamu masih memiliki saudara, sahabat, dan tentu saja Allah yang selalu mendekap doa-doa kita semua. Lalui ujian ini dengan sabar dan ikhlas supaya kamu bisa naik kelas. Aku yakin, melalui kejadian ini Allah ingin menunjukan bahwa betapa kamu dan saudara-saudaramu adalah muslim yang kuat."

Aku pun tersenyum membalas ketulusannya. Katanya sahabat sejati itu 1:1.000. Dan bagiku, Gea adalah orang itu. Dia tetap bersamaku ketika yang lain memilih menutup mata dan telinga namun terus membuka mulutnya untuk hal tak berguna. Alhamdulillah dengan izinNya, ku temukan lagi hikmah lain dari sebuah malapetaka.

Cerpen by dhini iffansyah

Selasa, 14 Juli 2015

Takdir Cinta

Bila ku pandangi masa lalu..
Berbagai rasa menyelinap di hatiku.

Kadang tersenyum, kadang tertunduk malu.

Terimakasih sudah menjadi bagian dari kisah itu..
Terimakasih pula atas segala kebaikanmu.

Ku sadari dengan diam ku telah menyakitimu.
Maaf telah mengabaikanmu..
Maafkan aku tak bisa menunggu.

Namun tahukah kamu ?

Dibalik keyakinan bahwa jodoh pasti bertemu..
Ada masa ketika hati hanya memihakmu..
Ada masa ketika ku terluka melepasmu..

Namun sekali lagi...
Bukankah cinta tak pernah meminta untuk menanti..
Ia mengambil kesempatan, itulah keberanian. Atau mempersilakan, yang berarti pengorbanan.
Ia lebih dari sekedar janji-janji. Apalagi hujjah nanti-nanti.

(dhini iffansyah)

**Teka-teki cinta namanya, kadang kita merasa yakin dengan jawabannya namun ternyata hanya dugaan semata. Jauh sebelumnya Allah sudah menuliskan takdir bagi setiap hamba, termasuk kita. Oleh karena itu janganlah terlalu berduka maupun bahagia dengan ketetapanNya. Bersabar dan bersyukurlah niscaya itu yang terbaik bagi kita.**

Jumat, 03 Juli 2015

Dukung LGBT?

Kini istilah LGBT (Lesbian, Gay, Bisexsual, Transgender) semakin ramai diperbincangkan dan meresahkan sebagian masyarakat. Termasuk saya.

Resah dan sedih melihat orang-orang yang tergabung dalam komunitas maupun pendukungnya merasa bangga dengan pilihan dan perbuatannya. Apalagi diantara mereka pun ada yang mengaku muslim.

Hak asasi katanya. Lagipula sudah ada undang-undang yang melegalkan. Untuk apa lagi dipermasalahkan?

Bagaimana mungkin kami tidak mempermasalahkan, sementara Allah sangat membenci perbuatan kalian...?

Terlebih sebelum undang-undang kalian disahkan, jauh sebelumnya Sang Penguasa Langit & Bumi telah mengesahkan undang-undang dan aturanNya. Namun ternyata masih ada saja manusia sombong yang berani menentang firman Tuhan.

Sudah lupakah kalian dari mana dan akan kemana kita setelah ini?

Sekuat dan sehebat itukah kalian hingga mampu menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah azza wa jalla?

Tidaklah Allah mengharamkan sesuatu, kecuali hal tersebut buruk bagi kita. Karena sesungguhnya Allah hanya menginginkan kebaikan bagi hambaNya.

Mengapa Allah mengharamkan liwath (homoseks)?

Dengan alasan yang sama mengapa Allah melarang khamar (miras), riba dan zina.

Yakni karena teramat besar keburukan yang ada padanya.

Sebenarnya saya takut bila kesabaran Tuhan sudah mencapai ambang batas dan akhirnya turunlah azab kepada setiap manusia, hingga tak lagi memandang apakah ia orang fasik ataukah termasuk yang beriman.

Saya bahkan lebih takut bila kelak ditanya hal apa yang sudah saya upayakan ketika mengetahui hal ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)

Mungkin kalian bosan mendengar cerita kaum Nabi Luth. Mungkin kalian kira itu hanya dongeng dan isapan jempol semata. Namun mungkin ada baiknya kalian belajar dari kasus kebakaran 500 gay di Taiwan usai menggelar pesta pelangi.

Percayalah, itu bukan sekedar kecelakaan. Sebagian dari kalian diberi kesempatan untuk "mencicipi" panasnya api yang sebenarnya bukanlah apa-apa dibanding siksa yang menanti di akhirat sana.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “(Panasnya) api yang kalian (Bani Adam) nyalakan di dunia ini merupakan sebagian dari tujuh puluh bagian panasnya api neraka Jahannam.” Para sahabat bertanya, “Demi Allah, api dunia itu sudah cukup wahai Rasulullah!” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “sesungguhnya panasnya api neraka melebihi panas api dunia sebanyak enam puluh kali lipat.” (HR. Muslim)

Menyesal di dunia, insyaallah masih berkesempatan untuk perbaiki semuanya. Menyesal di akhirat, sungguh merugi lagi sia-sia.

Bila Allah menawarkan pahala berupa surga yang kekal dengan taat padaNya, mengapa justeru memilih jalan lain demi memuaskan nafsu yang sementara?

Bila masih banyak kebaikan yang dihalalkan oleh Allah subhanahu wata'ala, mengapa memilih keburukan yang diharamkan oleh-Nya?

Apakah murka dan laknat Allah lebih disukai dibandingkan rahmat dan kasih sayangNya?

Adakah setan telah memperindah perbuatan buruk yang kalian lakukan?

Astaghfirullahal'adzim...

"Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari siksaan kubur, siksa neraka Jahanam, fitnah kehidupan dan setelah mati, serta dari kejahatan fitnah Almasih Dajjal." (HR. Bukhari-Muslim)

(dhini iffansyah)

Sumber foto: elshinta.com

Selasa, 30 Juni 2015

Ta'aruf

"Gimana nak? Kamu tegang?" Ibu bertanya penuh selidik kepada putri bungsunya.

"Enggak, biasa aja." Ujar Ira jujur.

Spontan kak Ray dan istrinya yang duduk di kursi mobil bagian depan tertawa mendengar jawaban adik mereka yang memang tampak begitu santai.

"Kok malah ibu yang tegang ya..?!" Ibu keheranan melihat sikap Ira yang hanya tersenyum manis seperti biasa.

Sekitar dua minggu yang lalu, Ira mendapatkan e-mail dari seorang teman. Isinya adalah biodata ikhwan yang berniat ta'aruf dengannya. Teman Ira tampak bersemangat untuk menjodohkan mereka, karena menurutnya diantara Ira dan si ikhwan ini ada kesamaan.

Secara latar belakang keluarga, pendidikan dan pekerjaan sama sekali tak ada masalah. Bahkan boleh dikatakan ideal. Perihal agama pun insyaallah baik, karena ikhwan ini rajin ikut pengajian sekaligus anggota muda di sebuah Masjid ternama di kotanya.

Setelah berkutat dengan hati dan pikirannya sendiri, akhirnya Ira bisa mengutarakan perihal tersebut pada keluarganya. Dan hari ini adalah hari yang mereka sepakati untuk bertemu dengan si ikhwan.

Pertemuan di hari Jum'at bulan Ramadhan. Tak ada hal khusus yang dipersiapkan selain booking tempat makan untuk buka puasa bersama.

Selama perjalanan di dalam mobil, Ira hanya memandang keluar jendela. Mempertimbangkan apa saja yang penting untuk nanti ditanyakan. Terlintas percakapannya dengan kak Ray sebelum tadi mereka berangkat.

"Nanti adik perlu waktu kan untuk memutuskan?" Tanya kak Ray di depan rumah mereka.

"Iya." Jawab Ira singkat.

"Adik mau minta waktu berapa lama?"

"Kalau orangnya enggak keberatan, sekitar satu minggu."

"Oke. Nanti kakak sampaikan." Ujar kak Ray tersenyum meyakinkan.

Setelah kepergian bapak 6 tahun lalu, secara otomatis kak Ray menggantikan peran almarhum sebagai kepala keluarga dan wali bagi adik perempuannya. 

Sebenarnya kak Ray juga merasa sedikit gugup, sebab ini pertama kalinya sang adik ingin mengenalkan seorang laki-laki padanya untuk ta'aruf. Kak Ray bahkan sempat browsing film "Ketika Cinta Bertasbih" di youtube sebagai rujukan apa saja yang harus dilakukan dan dibicarakan.

Waktu terasa berlalu begitu cepat. Adik kecilnya akan berusia 25 tahun bulan depan dan jika proses ta'aruf lancar maka insyaallah ia pun akan segera menikah tahun ini juga.

Sesekali kak Ray melirik Ira dari kaca spion mobil. Hari ini adiknya mengenakan gamis warna kuning kunyit favoritnya serta kerudung warna hitam. Sangat sederhana namun tetap cantik. Kak Ray berharap siapapun laki-laki yang kelak menjadi suami Ira, dapat selalu menjaga dan menyayanginya.

Setibanya di rumah makan khas Sunda, Ira sekeluarga pun langsung menuju meja yang mereka pesan. Ada dua meja dan 8 kursi. Ira duduk disamping ibu, berseberangan dengan Kak Ray dan istrinya. Masih ada 4 kursi kosong untuk berjaga-jaga bila ternyata si ikhwan datang bersama teman atau keluarganya.

Tempat itu sudah cukup ramai dengan para pelanggan yang ngabuburit. Tak lama setelah itu  tampak seorang pelayan yang menempel kertas bertuliskan "Penuh" di pintu masuk.

"Mana orangnya, nak? Sudah datang belum? Kamu tahu enggak ciri-cirinya?" Ibu langsung menyerang Ira dengan pertanyaan seusai mereka duduk.

"Mungkin sebentar lagi, Bu. Iya tahu kok." Ujar Ira sambil menyebar pandangan.

"Assalaamu'alaykum." Seorang laki-laki berkacamata dengan baju koko warna coklat tua dan celana kain di atas mata kaki datang memberi salam kepada Ira sekeluarga.

"Wa'alaykumussalaam, silahkan duduk." Kak Ray berdiri dan menjabat tangan si pemberi salam kemudian memberi isyarat untuk duduk tepat disampingnya.

Untuk beberapa saat, Ira, ibu dan iparnya hanya diam saja. Hanya terdengar suara kak Ray dan si ikhwan yang tengah asyik mengobrol basa-basi.

Pertanyaan seputar pekerjaan, alamat rumah, dan kondisi keluarga yang sebenarnya sudah terjawab di biodata si ikhwan. Sepertinya kak Ray sedang melakukan pemanasan sebelum masuk ke pembahasan yang lebih serius.

Jam menunjukan pukul 18.15 wita. Masih ada waktu untuk mengajukan beberapa pertanyaan. Ira akhirnya memutuskan untuk tak membuang kesempatan.

"Orangtua sudah setuju atau gimana?" Ira memulai investigasi nya.

"Orangtua insyaallah setuju. Beliau ngikut saja." Ujar si ikhwan mantap.

"Ooh, memang rencananya mau nikah kapan?"

"Kalau itu diserahkan ke pihak perempuannya." Jawab si ikhwan sambil tersenyum.

"Setelah menikah, aku boleh tetap bekerja?"

"Boleh."

"Oh iya, soal memiliki anak. Apa harus lebih dari 4?"

Kali ini si ikhwan tertawa. "Iya karena Rasulullah itu akan bangga melihat umatnya yang banyak."

Ira terdiam beberapa saat. Istri kak Ray memberi isyarat untuk tenang.
"Jangan khawatir, masalah anak itu masih bisa dinegosiasikan setelah berumah tangga. Suami juga tak akan sampai hati membiarkan isterinya kewalahan mengurus anak." Kira-kira itulah yang ingin istri kak Ray sampaikan melalui tatapan teduhnya. Ira pun tersenyum berterimakasih.

"Kalau dari kamu enggak ada yang mau ditanyakan?" Tanya Ira penasaran. Sebab dari tadi hanya ia yang bertanya.

"Sekarang kesibukan Ira apa saja?"

"Aku di rumah aja, sambil jualan on line. Sama ikut di kegiatan dakwah."

Si ikhwan hanya manggut-manggut. Tidak ada tanggapan maupun pertanyaan susulan.

"Ada kepikiran poligami?" Tanya Ira akhirnya.

Si ikhwan tertawa seperti sebelumnya namun kali ini juga tampak sedikit salah tingkah. "Satu aja belum punya." Ujarnya.

Ira kecewa mendengar jawaban yang tak menjawab itu. Bagi Ira pertanyaan itu sangat penting.

"Kalau sudah ada satu?" Ira bersikeras untuk mendapat jawaban.

"Poligami itu sunnah. Tapi berbuat adil itu wajib. Dan adil itu susah. Kita aja belum tentu bisa adil sama diri sendiri, orangtua dan satu istri. Jadi belum ada kepikiran kesana."

Penjelasan yang terdengar lebih serius itu belum juga melegakan hati Ira. Dalam hatinya berbisik "Berarti bila suatu saat dia mengganggap dirinya bisa adil maka kemungkinan berpoligami itu ada."

Ibu yang duduk disebelah Ira seperti menangkap getar keresahannya. Beliau pun memberi sentuhan lembut untuk menguatkan putrinya.

Azan maghrib menggema menyelamatkan suasana. Mereka pun menghentikan pembicaraan dan mulai membaca doa masing-masing lalu menyantap hidangan buka puasa yang telah disajikan.

Acara ta'aruf pun selesai setelah mereka sholat berjama'ah di mushola. Kak Ray tak lupa menyampaikan tentang jawaban yang insyaallah akan diberikan seminggu lagi.

"Enggak masalah. Tergesa-gesa itu sifatnya setan. Jadi silahkan pikirkan dulu baik-baik." Ujar si ikhwan tak keberatan.

Keluarga Ira dan si ikhwan pun saling berpamitan di bawah langit malam yang menjadi saksi pertemuan yang masih menyisakan pertanyaan besar. Apakah dia benar jodoh  yang dikirimkan Tuhan sebagai salah satu berkah bulan Ramadhan? Wallahu'alam.

Cerpen by.dhini iffansyah.

Kamis, 04 Juni 2015

Ramadhan yang Dinanti?

Alhamdulillah, Ramadhan sebentar lagi !
Kaum muslimin menghitung hari menuju bulan nan suci.

Eits, sudahkah kita persiapkan diri?
Jangan sampai tamu agung itu malah berkecil hati.
Melihat kebersamaan dengannya dipenuhi dengan joget dan "haha-hihi" !

Aah.. sungguh sayang bukan?
Bila bulan penuh berkah dan ampunan, tidak disibukan untuk melakukan ketaatan.

Lantas ketika tiba hari lebaran...
Hal apa yang patut dirayakan?
Apa sekedar berbangga dengan pakaian dan menikmati hidangan?

Kemenangan itu bagi mereka yang ilmu dan amal sholehnya bertambah.
Mereka yang bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah.
Mereka yang larut dalam malam-malam panjang di atas sajadah.
Mereka yang tak kunjung bosan melantunkan tilawah.
Mereka yang ikhlas berbagi rezeki agar semakin berkah.
Dan mereka yang sukses menghias diri dengan akhlakul karimah.

Semoga Ramadhan tahun ini mengantarkan kita pada kemenangan sejati yang diraih sebagai bekal menuju taman syurgawi.

(dhini iffansyah)

Rabu, 03 Juni 2015

Tentang Ramadhan

Ini adalah penggalan kisah ku di bulan yang mulia. Sedikit memori berharga yang ingin ku tuangkan dalam rangkaian kata sederhana.

Puasa pertamaku saat usia 6 tahun. Mama selalu sabar membangunkan ku untuk ikut sahur. Aku tak pernah bisa mengingat menunya karena terpaksa mengunyah dalam kondisi setengah sadar bahkan dengan kedua mata yang masih terpejam. ( ̄﹁ ̄)

Ketika siang hari sehabis pulang sekolah, aku langsung "mengibarkan bendera putih" meminta kebijakan untuk berbuka puasa lebih awal. Mama pun mengizinkan. Air es dari kulkas selalu jadi sasaran utama. Kejadian yang sama berulang dan hanya berakhir bila sudah terserang batuk. (≧﹏≦)

Suatu sore aku pernah duduk di pangkuan Papa di teras rumah. Dengan polosnya aku nyeletuk, "Kok kayak ada bau kentut?". Dan seperti biasa Papa akan menjawab lembut. "Bukan, itu bau mulut Papa, kan lagi puasa. Bau mulut orang puasa itu bau Surga." Beliau pun mulai menjelaskan ini-itu perihal puasa. Aku hanya manggut-manggut meski tak seberapa paham. (∩﹏∩)

Salah satu hobinya Papa adalah hunting menu favorit sampai keluar kota. Berbagai kue khas banjar yang (mungkin) belum afdhol kalau belinya bukan di Pasar Wadai Barabai. Walaupun jauh, tapi senang juga bisa pergi bareng keluarga. (=^_^=)

Best moment of Ramadhan tentu saja saat berbuka puasa. Kami sekeluarga gotong royong menyiapkan hidangan di atas tikar yang sengaja digelar. Walau ada meja makan tapi kami lebih suka lesehan di ruang tv. Ngabuburit sambil nonton acara Kultum di rcti. (∩▂∩)

Suasana buka puasa bareng keluarga besar selalu ramai. Diwarnai dengan canda tawa dan saling menggoda satu sama lain sebagai ritual pelepas rindu karena jarang bertemu. Tanpa terasa azan maghrib pun menggema di langit senja. (∩▽∩)

Kelas 5 SD mulai ada penugasan di bulan Ramadhan. Ada buku khusus yang mencatat ibadah yang sudah dijalankan. Alhasil jadi rajin ikut Mama ke masjid untuk tarawih dan sholat subuh berjama'ah. Sehabis sholat langsung bergerombol dengan puluhan anak lain yang ngantri minta tanda tangan sang Imam masjid. (X﹏X)

Hingga tiba hari lebaran yang menyempurnakan kegembiraan. Pakaian dan sepatu baru, salam tempel, silaturahim ke berbagai tempat, makan-makan-makan dan makan !. Libur Lebaran. Lebaran sambil Liburan. *\(^_^)/*

Itulah kisah tentang Ramadhan ku yang dulu.

Di tahun ini ku harap Ramadhan yang jauh lebih berarti.
Lebih semangat dan bersungguh-sungguh dalam amal yaumi.
Bukan sekedar haha-hihi !
Agar kemenangan sejati itu diraih sebagai bekal menuju taman surgawi.

Aamiin ya Rabbal'alamin.

(dhini iffansyah)

Senin, 18 Mei 2015

Anak & Kasih Sayang

Sahabat...

Bila ditengok kembali kisah terdahulu. Di dalam Al-Qur'an dapat kita temui sosok Nabi Yaqub as, seorang ayah yang menangis hingga buta disebabkan duka citanya kehilangan anak tercinta, Nabi Yusuf as.

Ada pula sosok Siti Hajar, ibu yang berlari kesana kemari di padang pasir tandus demi memperoleh air bagi anaknya yang kehausan, Nabi Ismail as.

Dan tentu saja teladan kita, Rasulullah Muhammad saw, yang menorehkan banyak kisah indah  dalam sirohnya tentang kecintaan beliau terhadap anak-anak.

Rasulullah saw adalah pribadi yang bersahabat dengan anak. Beliau memuliakan dan menyayangi mereka dengan tulus.

Suatu ketika beliau tampak bermain bersama anak-anak, merangkul kemudian mendoakan kebaikan bagi mereka. Di saat yang lain, beliau pun ikut berduka dan mencoba menghibur seorang anak kecil yang tengah sedih karena kematian burung kesayangannya.

Ya, itulah Rasulullah saw...

Lantas bagaimana dengan profil orangtua zaman sekarang?

Kekerasan dan penelantaran oleh ayah dan atau ibu kandung sendiri, bukanlah hal baru yang dialami oleh anak-anak khususnya di Indonesia.

Kasus kekerasan verbal, fisik bahkan seksual. Penelantaran hingga menghilangkan nyawa anak kandung yang dilakukan secara sengaja.

Ya Rabb, apa sebenarnya yang terjadi ?

Telah lenyapkah rasa cinta dan kasih sayang dalam hati mereka ?

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda : "Siapa yang tidak menyayangi, dia tidak akan disayangi." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Abu Dawud, Tirmidz, dan Ahmad)

Innalillahi wa innailaihi rojiuun. Lindungilah kami dan anak-anak kami dari sikap kasar dan menyakiti.

(dhini iffansyah)

Sabtu, 16 Mei 2015

Simple Happiness

Ngebolang sendirian di taman Van Der Pijl gegara salah lokasi. :D

It doesn't matter. Jadi bisa lihat tingkah lucu anak-anak TK yang kegirangan main disini.

Heem, happiness is so simple. Entah sejak kapan menjadi complicated. Orang dewasa semakin mudah sedih dan sulit bahagia.

Selalu ada saja yang kurang dan salah pada hidup orang dewasa. Sebuah senyum tulus pun bisa menjulang harganya.

Mengapa?

Mungkin karena orang dewasa sudah lupa bahwa bahagia itu sederhana. Cukup luangkan waktu bersama keluarga dan orang-orang tercinta. Itu saja. :)

(dhini iffansyah)

Selasa, 05 Mei 2015

Pelacur Dapat Sertifikasi di Indonesia ?

Walaupun agak malas membahasnya tapi lama-lama panas juga.

Setelah media setia memberitakannya berulang kali.

Setelah keluar statement dari seorang perempuan berkerudung yang bersepakat tentang lokalisasi prostitusi.

Setelah Ahok bilang, "Kita jangan munafik." (Kita?)

Setelah aktivis Komnas Perempuan turut mendukung sertifikasi dalam misi melindungi para pelacur itu dari tindak kekerasan/pembunuhan.

Wow. Luar biasa. Inikah yang disebut Revolusi Mental ?

Dari kalangan masyarakat biasa, aktivis bahkan pemerintah bersepakat meng-halal-kan profesi dan bisnis pelacuran.

Dengan berbagai dalih berupaya mencari pembenaran.

Tunggu saja sampai kita semua berada dihadapan Tuhan, masih adakah lagi yang berani mengucap omong kosong tentang "manfaat" legalisasi prostitusi serta pemberian sertifikasi ?

Pelacur itu tidak butuh sertifikasi. Mereka butuh bertaubat sebelum kematian itu menjemput dalam lumur maksiat.

Bagi yang masih waras akal sehat, hati nurani dan imannya, jangan dukung mereka dalam dosa. Bantu mereka menjadi manusia mulia, beretika dan taat beragama.

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu dekati zina. Karena zina itu perbuatan yang keji dan seburuk-buruk jalan.
(QS. Al Isra': 22)

(dhini iffansyah)

Jumat, 01 Mei 2015

Forgive, Forget and Move On

Penolakan akan selalu menyakitkan, walau dilakukan dengan cara yang paling halus sekalipun.

Yap, saya coba memaklumi kekecewaan atau mungkin kekesalan yang dirasakan. Mohon maaf, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Dipaksakan pun percuma.

Saya tidak berharap luka itu sembuh segera. Hanya saja, semoga itu tidak membuat logika dikalahkan oleh prasangka.

Jangan terlalu cepat menjustifikasi dan mengambil kesimpulan atas keputusan yang saya ambil. Tidak ada seorangpun selain saya dan Tuhan, yang tahu persis apa yang ada dalam hati dan pikiran saya.

Apa yang saya pilih saat ini mungkin tidak sepenuhnya benar, mungkin juga akan berbuah penyesalan yang besar. Namun ini tetap menjadi pilihan saya. Suka atau tidak suka, saya akan tetap menjalani apa yang saya ingini.

Terimakasih :)

(dhini iffansyah)

Minggu, 22 Maret 2015

Diary Riry

Sabtu, 21 Maret 2015

Dear diary, pertanyaan itu hadir lagi...

"Riry, kamu sudah punya calon belum?"

Ah, pertanyaan semacam ini mungkin biasa diterima oleh para jomblo di usiaku sekarang.

Meski demikian, tetap saja aku selalu bingung menjawabnya.

Bila menjawab ada, berarti aku berbohong, karena pada kenyataannya aku belum terikat pada siapapun. Namun bila menjawab belum ada, aku khawatir pertanyaan itu akan berbuntut panjang.

Seperti yang pernah terjadi dulu. Tiba-tiba saja orang itu datang ke rumah dan ingin bertemu keluargaku.

Diary... ini sudah kali keempat.

Aku sadar bahwa cepat atau lambat, aku memang harus memutuskan pilihan. Tapi aku terus saja mengulur-ulur waktu.

Biodata pribadi yang diminta oleh guru ngaji pun belum juga ku selesaikan. Padahal tentu saja itu  dimaksudkan untuk mempermudah proses ta'aruf ku nanti ke jenjang pernikahan.

Diary, pertanyaan itu sekarang semakin mengganggu.

Sebab kali ini diajukan oleh Hanif. Seorang teman lama yang baru saja menyelesaikan program magisternya. Aku tak tahu banyak tentangnya, namun insyaallah dia pribadi yang shalih.

Diary, bukankah seharusnya aku bersyukur sekarang? Hanif adalah sosok yang cukup sempurna untuk menjadi pendamping hidup.Tapi nyatanya hatiku masih saja bimbang. Apa karena aku masih mengharapkan Fadhil?

Padahal sampai sekarang aku bahkan tidak tahu kabarnya. Semenjak lulus kuliah, aku tak pernah bertemu lagi dengan Fadhil.

Sepertinya dia masih saja berkutat dengan urusan skripsi. Entah karena kesulitan, sengaja menunda atau memang sudah tak peduli dengan studinya.

Diantara kami memang tak ada ikatan apapun. Hanya saja... sejak lama aku sudah menaruh simpati padanya.

Keterlibatan kami dalam organisasi kampus yang sama membuatku sedikit banyak mengenalnya. Fadhil adalah sosok aktivis yang bersemangat dan berani menentang arus.

Diary, apa aku terlalu naif? Mungkin saja Fadhil sudah memiliki rencana menikah dengan orang lain setelah lulus kuliah. Sampai kapan aku mau menunggu sesuatu yang tak pasti? Sedangkan kini Hanif datang menawarkan masa depan yang baik.

Tapi...

Apa benar aku sanggup menjalani kehidupan rumah tangga bersama Hanif? Meski awalnya tanpa rasa apa-apa.

Akankah waktu bisa menumbuhkan cinta? Bila ternyata tidak, apa aku tetap bisa bahagia dengannya?

Diary, tak disangka keputusan untuk menikah ini akan menjadi sangat sulit.

Aku tak ingin salah memutuskan. Aku ingin bila pernikahan itu terjadi, maka itu adalah pernikahan sekali seumur hidup dan menjadi pernikahan yang ku syukuri hingga maut menjemput.

Heem... tak terasa sekarang sudah hampir jam 2 malam. Sebaiknya aku sholat istikharah saja dulu. Lebih baik ku serahkan urusan ini pada Sang Pemilik Kehidupan. Aku yakin, Allah Maha Tahu, jodoh yang terbaik untukku.

Selamat malam diary :)
Salam sayang, Riry.

**cerpen by dhini iffansyah**

Minggu, 15 Maret 2015

Mimpi Menulis

Sejak lama saya memang suka menulis. Tapi tak pernah berpikir kalau saya benar-benar "bisa" menulis. Satu hal yang saya tahu, saya senang berbagi lewat tulisan.

Biasanya saya berbagi kalimat motivasi, cerita yang (menurut saya) menarik, pengalaman hidup inspiratif, kutipan ayat maupun hadist, taujih dari para ustadz maupun ustadzah dan lain sebagainya.

Selain sebagai media sharing, bagi saya menulis juga merupakan salah satu bentuk katarsis. :)

Yap, sebagai "penulis" yang moody.. entah mengapa ketika mood sedang jelek itulah saat dimana banyak kata-kata bisa ditumpahkan lewat tulisan. Alhamdulillah, setelah menulis saya pun biasanya merasa lebih baik. :D

Perasaan sedih, kecewa, marah, sakit hati...

Hal-hal yang secara langsung tidak dapat saya ekspresikan dengan gamblang, bisa saya terjemahkan lewat rangkaian huruf sederhana. Ajaib.

Suatu saat, saya pun berharap bisa serius berkarya dibidang kepenulisan, walau mungkin hanya melahirkan satu buah buku. Ya, satu buku sebagai jejak yang bisa saya tinggalkan di muka bumi ini. Insyaallah :)

- dhini iffansyah

Minggu, 08 Februari 2015

Belajar dari Hud-Hud

Masih ingat cerita tentang Nabi Sulaiman dan Burung Hud-Hud ?

Kawan-kawan mungkin sudah hafal betul dengan ceritanya yang sering di dengar maupun di baca dalam Al-Qur'an.

Namun hari ini saya temukan makna kisah yang lebih luas dan mendalam dari seorang ustadz yang tampilannya tidak seperti ustadz-ustadz pada umumnya. :)

Penampilan ustadz sangat santai dan sederhana, tapi ketika sudah berbicara maka tampaklah bahwa beliau memang seorang yang berilmu dan paham tentang agamanya.

Beliau menyampaikan kembali cerita Nabi Sulaiman dan Burung Hud-Hud dalam berbagai perspektif yang menyimpan ibrah luar biasa.

Dimana burung Hud-Hud yang "hanyalah" seekor burung dapat memiliki kontribusi luar biasa dalam dakwah.

Kesadaran akan keterbatasan diri bukanlah suatu hambatan bagi burung Hud-Hud untuk menegakan kalimat Allah.

Dengan informasi yang akurat, burung Hud-Hud datang menghadap Nabi Sulaiman dan akhirnya tercetuslah awal mula mega proyek dakwah untuk mengislamkan negeri Saba.

Masyaallah...

Rasakanlah keindahan amal jama'i yang sedang Allah ajarkan kepada kita.

Masing-masing makhluk memiliki potensi dan dapat berkontribusi dalam dakwah.

Ya, meskipun hanya seekor burung !

Bagaimana Allah memperlihatkan bahwa Hud-Hud pun ternyata bisa memiliki kelebihan, dengan mengetahui sesuatu yang bahkan seorang Nabi Sulaiman pun tak tahu sebelumnya.

Maka sesungguhnya di dalam jama'ah ini, siapapun dia, apapun posisi dan perannya, tiada seorangpun yang pantas rendah diri dan dipandang sebelah mata.

Kita semua beramal jama'i dalam memperoleh ridho illahi. Masing-masing berada dalam barisan dan mengokohkannya. Peran besar maupun peran kecil semua tetap berganjar surga.

Wallahu'alam. Semoga bermanfaat.

(dhini iffansyah)

Selasa, 13 Januari 2015

Renungan Pagi

Alhamdulillah... pagi yang cerah dan sejuk di kota Banjarbaru.

Bila menatap pagi ini, siapa sangka tadi malam telah terjadi hujan lebat beserta kilat dan suara guntur bertubi-tubi.

Petir yang menyambar hingga mematikan arus listrik di rumah-rumah dan membuat malam menjadi semakin gelap mencekam.

Derasnya hujan dan kerasnya suara guntur... mengingatkan dengan kisah para nabi dan kaumnya di zaman dulu.

Kisah Nabi Nuh as dan Nabi Saleh as. Kisah yang menunjukan betapa mudahnya Allah membinasakan suatu kaum yang ingkar akan petunjuk dan peringatan.

Allah berfirman, yang artinya:
"Wahai bumi ! Telanlah airmu dan wahai langit (hujan !) berhentilah." Dan air pun disurutkan, dan perintah pun diselesaikan, dan kapal itupun berlabuh di atas gunung Judi, dan dikatakan, "Binasalah orang-orang zalim." (QS.Hud: 44)

"Kemudian suara yang mengguntur menimpa orang-orang zalim itu, sehingga mereka mati bergelimpangan di rumahnya, seolah-olah mereka belum pernah tinggal di tempat itu. Ingatlah, kaum Samud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, binasalah kaum Samud." (QS.Hud: 67-68)

***

Itulah beberapa berita tentang negeri-negeri (yang telah dibinasakan) yang Kami ceritakan kepadamu (Muhammad). Diantara negeri-negeri itu sebagian masih ada bekas-bekasnya dan ada (pula) yang musnah.

Dan Kami tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri, karena itu tidak bermanfaat sedikitpun bagi mereka sesembahan yang mereka sembah selain Allah, ketika siksaan Tuhanmu datang. Sesembahan itu hanya menambah kebinasaan bagi mereka.

Dan begitulah siksa Tuhanmu apabila Dia menyiksa (penduduk) negeri-negeri yang berbuat zalim. Sungguh siksanya sangat pedih, sangat berat.

Sesungguhnya pada yang demikian itu pasti terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat. Itulah hari ketika semua manusia dikumpulkan (untuk dihisab), dan itulah hari yang disaksikan (oleh semua makhluk).

Dan Kami tidak akan menunda, kecuali sampai waktu yang sudah ditentukan.
Ketika hari itu datang, tidak seorangpun berbicara, kecuali dengan izin-Nya; maka diantara mereka ada yang sengsara dan ada yang berbahagia.
(QS.Hud: 100-105)

***

Allah subhanahu wata'ala boleh jadi sedang menangguhkan siksa-Nya, dan janganlah kita terlena dengan sisa waktu kita di dunia, jangan sampai iman itu baru ada setelah siksa itu jelas di depan mata. Bersyukur, beriman dan bertakwalah hanya kepada Allah azza wa jalla.

Semoga bermanfaat ^_^