Kamis, 14 April 2016

Sahabat Alya

"Ada apa dengan wajahmu pagi ini Alya? Mengapa nampak mendung disaat cuaca di luar begitu cerah?"

Alya yang tengah menatap dirinya sendiri di cermin hanya terdiam menanggapi pertanyaan Ayla, teman bayangannya.

"Hei! Jangan diam saja. Ayo ceritakan padaku." Ujar Ayla memaksa.

"Bukankah seharusnya kau sudah tahu?" Alya menjawab dengan dingin.

"Tentu aku tahu. Aku juga tahu kalau semalaman kau tidak bisa tidur karena masalah itu."

"Lalu untuk apalagi kau bertanya Ayla? Apa sekarang kau mau ikut-ikutan berbasa-basi seperti mereka?"

"Tentu saja tidak. Aku bertanya agar kau bisa mulai bercerita. Karena itulah yang kau butuhkan sekarang."

Mendengar itu Alya seketika menitikan air mata. Entah sejak kapan ia mulai "bersahabat" dengan Ayla, yang jelas itu sudah sangat lama. Alya yang dari kecil selalu merasa kesepian dan diabaikan, hanya bisa mengandalkan Ayla untuk mendengarkan keluh kesahnya. Selama ini Ayla yang selalu ada untuknya.

"Bukankah terlalu awal untuk menangis? Tapi sudahlah, aku tahu itu akan membuat perasaanmu lebih baik. Iya kan?"

"Kali ini tidak..."

"Benarkah?"

"Iya. Rasanya aku ingin muntah. Aku muak dengan sandiwara keluarga bahagia ini. Aku hanya pura-pura bahagia sama seperti mereka."

"Ku kira selama ini mereka hanya sibuk. Apa kau mau mengatakan kalau kesibukan itu juga pura-pura?"

"Bukan tentang kesibukannya, tapi tentang cara mereka memanfaatkan semua itu untuk menyisihkanku. Sebab mereka memang tidak peduli apalagi menyayangiku. Mereka lebih menyukai kesibukan itu daripada aku."

"Tapi mereka selalu ingat hari ulang tahunmu kan Alya. Bukankah kamu selalu senang ketika merayakannya bersama mereka?"

"Iya. Setahun sekali. Hanya setahun sekali. Lalu bagaimana dengan 364 hari lainnya?"

"Setidaknya kamu mendapatkan kado mahal yang memang tidak mungkin dibeli setiap hari kan?"

Alya menggeleng. "Hal yang paling membuatku senang adalah bisa bersama mereka seperti layaknya keluarga. Setiap tahun aku hanya mengharapkan kebersamaan itu bisa terjadi lebih lama dan lebih sering."

"Aku masih beranggapan kalau mereka tidak seburuk itu. Hanya saja sikap mereka memang belum sesuai dengan harapanmu."

"Maksudmu harapanku terlalu berlebihan?"

Ayla terdiam.

"SEORANG ANAK BERHARAP DITANYA TENTANG PERASAANNYA DAN DIDENGARKAN PENDAPATNYA OLEH IBU KANDUNGNYA SENDIRI, APA ITU SUNGGUH BERLEBIHAN??!" Suara Alya terdengar lebih nyaring dan bergetar. Mukanya yang semula putih pucat sekarang berubah merah.

"Tenanglah... Apa kau tidak melihat wajahmu sangat jelek kalau sedang marah?"

Sekarang giliran Alya yang terdiam oleh teguran Ayla.

"Aku tahu harapan dan keinginanmu sangatlah sederhana. Tapi bukankah kau sudah mampu mengatasi keadaan ini selama 25 tahun? Hatimu sudah terlatih. Kau hanya perlu bertahan lebih lama lagi."

"Ayla... Apakah Tuhan memang menciptakan hati untuk terus disakiti?"

"Lebih tepatnya Tuhan ingin kita tahu nikmatnya bersabar dan memaafkan." Ujar Ayla dengan senyuman yang juga mengembang diwajah Alya.

"Terimakasih. Aku selalu bisa mempercayaimu."

"Kau tahu? Kau juga bisa mempercayai orang lain. Mulailah dengan membuka hatimu. Bertemanlah dengan orang-orang baik. Akan jauh lebih menyenangkan berbincang dengan teman-teman baru ketimbang menghabiskan waktumu disini."

"Apa kau mulai lelah mendengarkanku..?"

"Aku hanya bayangan. Aku tidak pernah merasa lelah. Datanglah padaku bila kau butuh merefleksikan diri, tapi hiduplah sebagaimana orang hidup. Hiduplah dalam kenyataan. Hadapi kenyataan itu walau sesulit apapun. Karena kesulitan itulah yang membuatmu kuat. Cukup kuat untuk menampung kebahagiaan setelahnya."

Setelah mengatakan itu secara perlahan bayangan Ayla memudar dan hilang sama sekali. Kini Alya hanya melihat bayangan dirinya di cermin. Meski sebenarnya Ayla tak pernah benar-benar pergi.

(dhini iffansyah)